Mohon tunggu...
ECOFINSC FEB UNDIP
ECOFINSC FEB UNDIP Mohon Tunggu... Economic Finance Study Club FEB UNDIP

ECOFINSC is a Student Organization Study Club focused on Economics and Finance at the Faculty of Economics and Business, Diponegoro University. Hubungi kami : linktr.ee/ecofinscfebundip2025

Selanjutnya

Tutup

Financial

Jebakan Jobless Recovery: Menganalisis Ancaman terhadap Bonus Demografi Indonesia

8 September 2025   18:58 Diperbarui: 8 September 2025   18:58 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2025 menyajikan sebuah gambaran perekonomian Indonesia yang penuh dengan kontradiksi. Data resmi yang dirilis sekilas menunjukkan optimisme, tetapi sebenarnya menyembunyikan kelemahan yang mendasar. Mesin ekonomi nasional tampak berjalan dengan baik, ditandai oleh pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang kuat sebesar 5,12% pada Kuartal II. Namun, narasi positif ini segera dipatahkan oleh realitas di pasar tenaga kerja, di mana pertumbuhan tersebut gagal diiringi dengan penciptaan lapangan kerja yang memadai. Kondisi ini merupakan gejala awal dari fenomena jobless recovery, atau "pemulihan tanpa lapangan kerja". Secara sederhana, ini adalah sebuah paradoks di mana PDB sebagai indikator utama ekonomi telah pulih dan tumbuh, tetapi pasar tenaga kerja tidak ikut pulih. Pertumbuhan ekonomi terjadi, tetapi manfaatnya tidak dirasakan oleh para pencari kerja. Data tahun 2025 menunjukkan fenomena ini dengan sangat jelas; perekonomian memang berhasil menciptakan 3,59 juta pekerjaan baru, tetapi jumlah angkatan kerja yang memasuki pasar mencapai 3,67 juta orang. Selisih atau defisit penyerapan sekitar 80.000 orang inilah yang menjadi inti masalah, membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak bersifat inklusif dan gagal menjawab kebutuhan paling mendasar dari masyarakat. 

Fenomena jobless recovery ini menjadi semakin jelas ketika kita membedah statistik pengangguran, yang menyajikan sebuah ilusi optik. Jika kita hanya melihat dari sisi persentase, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) seolah memberikan kabar baik. Angka ini turun tipis menjadi 4,76%. Angka ini secara historis sangat signifikan karena disebut-sebut sebagai level terendah sejak krisis finansial 1998, sebuah peristiwa yang menjadi tolok ukur keterpurukan ekonomi di Indonesia. Pencapaian ini seolah menjadi sinyal bahwa pasar kerja tidak hanya pulih, tetapi berada dalam kondisi terbaiknya dalam lebih dari dua dekade. Namun, angka persentase ini bisa sangat menipu. Di balik itu, jumlah riil atau hitungan kepala orang yang tidak memiliki pekerjaan, atau jumlah absolutnya, justru naik menjadi 7,28 juta orang. Bagaimana ini bisa terjadi? Fenomena ini dapat dijelaskan sebagai sebuah ilusi statistik. TPT adalah sebuah rasio yang membandingkan jumlah penganggur dengan total angkatan kerja. Pada tahun 2025, jumlah angkatan kerja baru tumbuh begitu pesat sehingga, meskipun jumlah orang yang menganggur bertambah, porsinya terhadap total angkatan kerja yang membengkak menjadi terlihat lebih kecil. Akibatnya, persentase pengangguran tampak membaik, padahal kenyataannya lebih banyak orang yang tidak memiliki pekerjaan. Kelemahan di balik angka utama ini semakin terbukti jika kita melihat lebih detail, di mana kondisi bagi pekerja laki-laki justru memburuk dan tingkat pengangguran jauh lebih tinggi di wilayah perkotaan, menunjukkan bahwa "perbaikan" yang ada tidak merata dan sangat rapuh. 

Sumber: Badan Pusat Statistik
Sumber: Badan Pusat Statistik

Bahkan bagi mereka yang berhasil mendapatkan pekerjaan, kualitas dan stabilitasnya patut dipertanyakan. Pemulihan ini ternyata didominasi oleh pekerjaan berkualitas rendah, dengan sekitar 33,81% dari total pekerja, atau setara dengan 49,29 juta orang, berstatus sebagai pekerja tidak penuh. Fenomena ini terkait erat dengan strategi efisiensi perusahaan yang menekan biaya melalui subkontrak dan jam kerja yang lebih pendek, yang pada akhirnya menggerus keamanan kerja jutaan orang. Pola ini diperkuat oleh struktur ekonomi nasional yang masih bergantung pada sektor berproduktivitas rendah seperti Pertanian dan Perdagangan sebagai penyerap tenaga kerja terbesar, sebuah indikasi jelas dari pola "pertumbuhan berkualitas rendah".

Sumber: Badan Pusat Statistik               
        googletag.cmd.push(function() { googletag.display('div-gpt-ad-712092287234656005-412');});
Sumber: Badan Pusat Statistik googletag.cmd.push(function() { googletag.display('div-gpt-ad-712092287234656005-412');});

Sinyal bahaya paling nyata datang langsung dari dunia usaha, yang menderita di balik narasi pemerintah yang optimis. Ironi terbesar datang dari sektor manufaktur. Dalam laporan PDB, sektor ini secara konsisten disebut sebagai "pahlawan" dan salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Namun, data dari lapangan menceritakan kisah yang sangat berbeda. Indikator kesehatan industri yang lebih real-time, yaitu Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur, memberikan gambaran yang bertentangan. PMI pada dasarnya adalah hasil survei bulanan kepada para manajer pembelian di ratusan pabrik, orang-orang di garis depan yang aktivitasnya menentukan laju produksi. Angka di atas 50 menandakan bisnis sedang berekspansi, sementara angka di bawah 50 menandakan kontraksi. Untuk tahun 2025, data PMI secara konsisten berada di bawah level 50, sebuah sinyal jelas dari para pelaku industri itu sendiri bahwa aktivitas bisnis mereka sebenarnya sedang menyusut. Bukti nyata dari penderitaan ini adalah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terus meningkat sepanjang tahun. Sektor manufaktur menjadi episentrum krisis ini, menyumbang lebih dari 53% dari total PHK nasional, dengan 22.671 pekerja kehilangan pekerjaan pada semester pertama saja. Tekanan ini diperburuk oleh masalah fundamental terkait validitas dan sinkronisasi data PHK antar lembaga pemerintah, sebuah kelemahan birokrasi yang melumpuhkan kemampuan negara untuk mendiagnosis skala krisis dan meresponsnya secara efektif.

Pada akhirnya, cerminan paling jelas atas kesenjangan antara narasi resmi dan realitas di lapangan ini datang dari pasar keuangan, yang menceritakan dua kisah yang saling bertentangan. Di satu sisi, pasar saham menampilkan optimisme semu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) memang sempat mencetak rekor tertinggi, tetapi kenaikan ini bukanlah cerminan dari kesehatan perusahaan. Kenaikan tersebut justru merupakan sebuah respons paradoksal terhadap berita buruk, di mana data tenaga kerja yang lemah menjadi jaminan bagi bank sentral untuk menyuntikkan likuiditas ke dalam sistem, yang kemudian memicu kenaikan harga saham secara berkelanjutan. Di sisi lain, pasar mata uang memberikan penilaian yang lebih langsung dan tegas. Nilai tukar Rupiah berada di bawah tekanan depresiasi yang signifikan, sebuah cerminan dari kesimpulan investor global atas data PHK dan pengangguran, yaitu bahwa prospek keuntungan perusahaan di masa depan melemah dan produktivitas nasional stagnan. Modal internasional pun merespons sinyal ini dengan keluar dari aset Rupiah, sehingga menekan nilainya. Respons yang terbelah dari pasar keuangan ini mengangkat masalah ketenagakerjaan dari sekadar isu sosial domestik menjadi konsekuensi finansial berskala global. Hal ini menggarisbawahi kesimpulan bahwa di balik angka pertumbuhan yang tampak gemilang, terdapat fondasi ekonomi yang rapuh dan penuh ketidakpastian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun