Dibelenggu Tanpa Surat Pemecatan
Banyak pekerja di Indonesia hari ini tidak diberhentikan secara eksplisit, tapi secara sistematis disingkirkan dari sistem. Praktik ini tidak mencerminkan proses PHK sebagaimana diatur hukum, melainkan lebih mirip "pembunuhan karier" dengan tangan yang tersembunyi. Tidak ada pemecatan resmi, tetapi tak ada pula ruang untuk bertahan. Ini bukan lagi soal efisiensi, tapi soal pembiaran terhadap pelanggaran hak dasar pekerja.
Prinsip-Prinsip Ketenagakerjaan yang Terkoyak
a. Prinsip Kepastian Kerja
UU No. 13 Tahun 2003 dan UU Cipta Kerja menjamin bahwa setiap pekerja berhak atas kepastian dan kelangsungan kerja. Praktik mutasi ke lokasi ekstrem, non-job, dan tekanan psikologis terang-terangan mencederai prinsip ini. Perusahaan tidak bisa semena-mena mengatur nasib tanpa alasan hukum yang sah.
b. Prinsip Penghargaan atas Loyalitas
Pasal 156 UU Ketenagakerjaan menyebutkan hak atas kompensasi berdasar masa kerja. Namun praktik memaksa resign setelah 10 tahun tanpa kompensasi sama saja menghapus penghargaan terhadap loyalitas. Padahal loyalitas adalah fondasi dari pertumbuhan perusahaan itu sendiri.
c. Prinsip Kesejahteraan dan Martabat
Memberi gaji 10%, menurunkan jabatan, hingga menonaktifkan pekerja tanpa kejelasan adalah bentuk pengabaian terhadap hak dasar pekerja. Hal ini bertentangan dengan semangat kesejahteraan kerja dalam konstitusi dan UU Ketenagakerjaan.
d. Prinsip Keadilan Relasi Industrial
Ketiadaan serikat pekerja memperparah kondisi ini. Tanpa organisasi, suara pekerja teredam. Ketimpangan relasi kerja menjadi ladang subur lahirnya kekerasan struktural terhadap karyawan.
Perspektif Hukum: Peluang Pidana dan Perdata
a. UU Ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja, dan PP 35/2021