Ketika Pemutusan Hubungan Tak Pernah Diucapkan
"Bukan dipecat, tapi dimatikan perlahan." Kalimat itu bukan metafora sastra, melainkan kenyataan pahit yang dialami banyak pekerja di perusahaan-perusahaan besar Indonesia. Tanpa ada surat pemutusan, tanpa alasan hukum yang jelas, seorang karyawan bisa dikondisikan untuk "mengundurkan diri secara sukarela" --- padahal itu bukan keinginannya. Inilah wajah baru PHK: senyap, manipulatif, dan sangat menyakitkan.
Kekerasan Korporasi yang Halus Tapi Menyakitkan
Di balik citra profesionalisme perusahaan, berbagai modus manipulatif terus berlangsung. Berbagai cara diterapkan secara sistematis untuk "membuat karyawan pergi" tanpa perlu menyebutnya PHK. Berikut ini beberapa pola yang kerap ditemukan:
1. Paksaan Mengundurkan Diri
Perusahaan kerap menyarankan pekerja "mundur secara baik-baik" agar tak tercoreng riwayat pekerjaannya. Iming-iming surat rekomendasi, kemudahan administrasi, bahkan "uang lelah" kecil ditawarkan --- tetapi pesangon dan hak atas PHK sah lenyap.
2. Mutasi Jarak Jauh yang Tidak Masuk Akal
Seorang karyawan yang tinggal di kota besar tiba-tiba dimutasi ke daerah terpencil tanpa alasan yang rasional, tanpa fasilitas relokasi, dan tanpa dukungan psikologis. Tujuannya jelas: membuat pekerja tidak tahan, lalu memilih keluar sendiri.
3. Dirumahkan dengan Gaji 10%
Dengan dalih efisiensi atau krisis keuangan, pekerja dirumahkan dan hanya menerima sebagian kecil dari gajinya. Tidak ada laporan keuangan terbuka, tidak ada pembuktian kondisi darurat. Praktik ini melanggar prinsip upah layak sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003, UU Cipta Kerja, dan PP No. 35 Tahun 2021.
4. Overload Tugas Tanpa Kenaikan Upah
Banyak pekerja secara diam-diam "diberi hukuman" berupa beban kerja berlipat ganda, tapi tanpa kenaikan gaji atau jabatan. Dalam banyak kasus, satu karyawan memegang 2--3 tanggung jawab sekaligus. Tujuannya? Membuatnya kelelahan secara fisik dan mental, agar keluar tanpa perlu dipecat.