"Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah. Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman."Â (Gal 6:9-10)
Setiap orang percaya dipanggil untuk berbuat baik kepada semua orang, terutama kepada saudara seiman. Rasul Paulus menekankan agar kita jangan jemu-jemu melakukannya; inilah yang saya sebutkan bahwa "hidup itu harus memberi manfaat bagi sesama".Â
Namun, dalam prakteknya tidaklah selalu mudah. Ada saat-saat ketika kebaikan kita tidak dihargai, bahkan dimanfaatkan oleh orang yang sudah menerima kebaikan dan pertolongan kita kepadanya.
Pagi tadi hingga larut malam, di satu grup WhatsApp saya, grup Alumni tempat saya pernah menempuh pendidikan teologi, ramai membicarakan tentang seorang "alumni" Â (saya tidak sebut namanya dan nama sekolah kami).Â
Rupanya sudah hampir kepada semua orang di grup WA alumni ini ia WA dan telpon untuk meminta bantuan "keuangan" dengan berbagai alasan kesulitan masalah yang dihadapinya, tak terkecuali kepada saya dan kepada isteri saya (yang juga satu almamater) dan beberapa dosen yang pernah mengajar kami, ia minta bantuan "finansial".Â
Yang menjadi persoalan adalah  bahwa ia melakukannya berulang-ulang terutama kepada siapa saja yang pernah membantunya dan mendesak lagi dan lagi minta dibantu secara keuangan.Â
Semua dalam grup ahirnya menyatakan rasa terganggu dengan orang yang satu ini, tidak peduli kepada angkatan berapa saja yang dia sendiri tidak kenal dan sayapun tidak pernah kenal secara langsung karena beda angkatannya jauh, ditambah lagi ia sendiri rupanya drop out di tengah jalan alias tidak sampai diwisuda.Â
Singkatnya dari semua pengalaman itu kami simpulkan bahwa memang dia mempunyai kebiasaan buruk yaitu suka "memanfaatkan kebaikan orang", apalagi dia tahu kami adalah orang-orang yang telah belajar teologi dan sebagian besar sudah menjadi pendeta, guru atau pelayan Tuhan, dia anggap memiliki sensitifitas, mudah iba dan murah hati.
Sejujurnya, situasi semacam ini dapat membuat hati menjadi jengkel, kecewa, bisa membuat kita lelah dan akhirnya tergoda untuk berhenti berbuat baik. Namun disisi lain kita menjadi dilema karena harus melakukan Firman Tuhan di atas.Â
So What to do? Berikut adalah tiga tips bagi kita melakukan kebaikan tanpa menjadi korban dari orang-orang yang mau "memanfaatkan" kebaikan kita, yaitu:
- Pertama : Tetaplah Berbuat Baik dan Memberi Manfaat sebab Perbuatan Baik Tidak Pernah Sia-sia.
Paulus meneguhkan: "Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik." Artinya, kebaikan bukan sekadar aktivitas sesekali.Â
Hidup yang bermanfaat bagi sesama adalah panggilan dan identitas orang percaya, gaya hidup orang percaya. Meskipun kadang orang tidak menghargai, Tuhanlah yang mencatat setiap kebaikan kita. Ia berjanji bahwa pada waktunya kita akan menuai hasilnya.Â
Karena itu, jangan berhenti memberi manfaat hanya karena pengalaman pahit. Tetaplah menabur kebaikan, sebab hidup yang memberi manfaat selalu berkenan di hadapan Tuhan.
- Kedua : Berbuat Baik dengan Prioritas.
Paulus melanjutkan: "Marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman." Ini bukan berarti kita pilih kasih, melainkan mengajarkan adanya prioritas dalam kasih.Â
Sama seperti dalam keluarga jasmani, kita tentu bertanggung jawab lebih dulu kepada anggota keluarga sendiri sebelum orang lain. Demikian juga dalam keluarga rohani, Tuhan ingin agar kita memperhatikan saudara-saudara seiman kita lebih dulu.
Namun, Paulus tidak berhenti di situ. Ia menekankan bahwa kebaikan juga harus diperluas "kepada semua orang." Jadi, kebaikan orang percaya bersifat inklusif, tidak terbatas pada lingkaran gereja, tetapi menjangkau masyarakat luas.
- Ketiga : Berbuat Baik dengan Bijaksana
Pertanyaannya, apakah itu berarti setiap permintaan orang harus kita turuti? Jawabannya: tidak.Â
Alkitab mengajarkan bahwa kebaikan harus disertai dengan hikmat. Amsal 3:27 berkata, "Janganlah menahan kebaikan dari orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya."Â
Kata kuncinya: yang berhak, dan kalau mampu. Ada kalanya orang meminta sesuatu bukan karena kebutuhan yang sejati, melainkan karena "modus" ingin hidup bergantung pada orang lain.
Rasul Paulus juga menegaskan dalam 2 Tesalonika 3:10: "Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan." Ini mengingatkan bahwa menolong bukan berarti memanjakan kemalasan atau membiarkan seseorang hidup dalam ketergantungan yang tidak sehat.
Maka, berbuat baik dengan bijaksana berarti menolong dengan cara yang membangun, bukan menghancurkan. Kadang itu berarti kita harus berkata "tidak" dengan kasih, sambil tetap menawarkan bentuk pertolongan lain: memberi nasihat, mendoakan, atau membantu mereka mencari solusi yang lebih bertanggung jawab.
Sahabatku semua, mari kita terus berbuat baik tanpa jemu-jemu. Jangan biarkan rasa kecewa membuat kita berhenti menabur kasih. Namun, belajarlah berbuat baik dengan bijaksana: tetapkan prioritas, pertimbangkan kebutuhan yang benar, dan lakukan dengan hati yang tulus.Â
Dengan demikian, kebaikan kita bukan hanya memenuhi kebutuhan sesaat, tetapi juga membangun kehidupan orang lain sesuai kehendak Tuhan.
"Kebaikan sejati bukan sekedar memberi apa yang orang minta, tetapi menolong mereka menjadi seperti yang Tuhan mau."
Tuhan Yesus memberkati kita semua...!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI