Jika membaca judul di atas, Anda semua pasti merasa heran dengan apa yang dimaksud dalam frasa tersebut. Sebetulnya, tidak ada maksud apa-apa selain hanya ingin bercerita tentang oleh-oleh dari lawatan masjid ke masjid di berbagai negara jiran (tetangga) yang terdekat dengan Indonesia.
Setiap saya bertugas ke luar negeri, hal pertama yang dilakukan adalah berusaha menyempatkan diri untuk melaksanakan kewajiban salat wajib dan sunnah di masjid yang ada di kota-kota di negara tersebut terutama pada saat salat Jumat.
Ada nuansa yang berbeda yang bisa menambah kadar keimanan diri dengan hadir di masjid negara lain. Tujuan lain juga untuk melihat kemegahan atau arsitektur masjid di situ. Bisa ditemui adanya berbagai etnis dan ras manusia menjadi saudara sendiri saat bertemu dan bersatu padu melaksanakan salat berjemaah.
Baca juga :Â Gara-Gara Memfoto Satu dari Lima Masjid Ini!, Saya Ditangkap Polisi
Seperti saat masih mengikuti Shortcourse di Perth, Australia Barat beberapa tahun lalu, setiap salat Jumat, saya berusaha untuk berpindah masjid agar mendapatkan pengalaman rohani yang berbeda. Salah Satunya adalah sewaktu ada seorang khotib berkulit hitam legam yang berdiri di mimbar. Bisa diduga, dia pasti berasal dari salah satu negara di Afrika.
Materi khotbahnya sangat menyejukkan hati para jamaah. Terlihat jelas kemampuan bahasa Inggrisnya yang fasih dan juga kemampuan agamanya, terutama bahasa Arabnya. Sedihnya, kadang-kadang, masih banyak orang di antara kita yang selalu memandang rendah orang lain berdasarkan perbedaan warna kulit yang padahal semua ras manusia itu diciptakan Allah SWT sebagai makhluk yang sederajat.
Hal yang kedua adalah ada salah satu masjid di Kota Perth yang bangunannya masih berbentuk Klenteng (Tempat sembahyang umat Kong Hu Cu) dan sudah dibeli oleh komunitas muslim. Â Selanjutnya, tempat itu dialihfungsikan menjadi masjid. Uniknya, sampai sekarang bangunan tersebut masih utuh apa adanya dengan menambah tempat air untuk berwudhu saja.
Juga masih ada lagi saat saya berada di Kota Seoul, Korea Selatan, selalu menyempatkan diri juga untuk salat di Masjid Agung yang terletak di downtown di daerah Itaewon. Lingkungan di daerah tersebut banyak dihuni oleh para imigran muslim dari Timur Tengah, India dan juga Bangladesh.
Bentuk bangunan masjidnya, sepintas seperti arsitek kebanyakan masjid di Indonesia. Jadi jika berada di dalamnya, serasa ada di masjid-masjid di tanah air. Hal yang membedakan hanya pada para jamaahnya yang sudah mulai terlihat adanya banyak mualaf dari warga Korea Selatan yang ikut hadir saat salat.
Bagaimana dengan tiga masjid di tiga negara lawatan?
Saat ada tugas ke Singapura, Malaka, dan Malaysia beberapa waktu lalu, saya juga tetap mencari keberadaan masjid di daerah setempat atau kota yang saya singgahi. Ada beberapa hal yang menarik untuk diperhatikan dan dicatat seperti sejarah didirikannya masjid tersebut, kapan dibangun , juga keragaman para jemaahnya dan banyak hal lainnya.
Pertama, Masjid Sultan, Singapura
Jika Anda sebagai orang muslim dan ada kesempatan ke Singapura, cobalah untuk mengunjungi Masjid Sultan yang dinyatakan sebagai masjid tertua di Singapura. Dibangun di tahun 1824 dan itu artinya, jika sekarang tahun 2025, artinya usia Masjid Sultan tersebut sudah lebih dari 2 abad atau 200 tahun dan tetap berdiri kokoh sampai saat ini.
Masjid yang terletak di Arab Street, Kampung Glam, Distrik Rochor, Singapura bisa menampung 5.000 jemaah sekaligus. Diberi nama Masjid Sultan karena dibangun pada masa pemerintahan Sultan Husaain Syah dari Kesultanan Johor.
Uniknya, struktur awal Masjid Sultan yang proses pembangunannya berlangsung di tahun 1824-1826, dibangun oleh para pekerjanya yang sebagian besar berasal dari Jawa, Mereka bertujuan awal sebenarnya hanya untuk berdagang di Singapura. Bahkan, Kampung Glam itu dulunya adalah kawasan pemukiman awal etnis masyarakat Indonesia seperti Jawa, Bugis Sulawesi dan orang Sumatra.
Saat berjalan mengelilingi area masjid, saya melihat adanya bulatan kecil yang berjumlah banyak di bawah kubah masjid. Sahabat saya yang bernama Pak Islam, keturunan India-Melayu, menjelaskan bahwa bulatan itu adalah tutup botol kecap atau botol hijau yang ditempel pada dinding kubah.
Hal itu demi menghormati pemilik pabrik kecap tersebut yang menjadi donatur tetap selama proses pembangunan awal masjid. Pendanaan lainnya juga diperoleh dari semua warga muslim yang bermukim di Kampung Glam atas izin dari Thomas Stamford Raffles yang saat itu diberi kuasa penuh atau Gubernur atas Tamasek (Nama sebelum berubah menjadi Singapura).
Masjid Selat Melaka
Selanjutnya, setelah perjalanan dari Singapura dengan kendaraan pribadi menuju Kota Kuala Lumpur, selama perjalanan, saya menyempatkan untuk salat duhur di Masjid Selat Melaka (Malacca-Strait Mosque) yang sering dikenal dengan sebutan Masjid Terapung Melaka dan terletak di Jalan Baiduri di kawasan Selat Melaka, Provinsi Melaka Malaysia.
Jika dilihat dari kejauhan, seolah-olah masjid ini seperti terapung di atas permukaan air, khususnya saat air laut sedang mengalami pasang naik. Apalagi bila Anda datang ke Masjid ini di malam hari dengan pemandangan langit cerah, keindahan lampunya yang terbias dari kaca patri yang berwarna-warni akan membuat pengunjung betah berlama-lama di Masjid Melaka tersebut.
Dibangun pada tahun 2006, arsitektur Masjid Melaka ini seperti bangunan masjid dengan gaya Timur Tengah yang dipadukan dengan konstruksi kebanyakan masjid di daerah semenanjung Melayu, namun tetap ada sedikit sentuhan gaya bangunan Eropa, khususnya gaya bangunan Potugis.
Hal itu tidak aneh mengingat Melaka juga pernah dijajah oleh bangsa Portugis. Kasus itu mengingatkan saya, saat di Saigon, Vietnam, Bangunan masjid di sana rata-rata juga dipengaruh gaya arsitektur bangunan China dan Eropa. Kita harus memahami sejarah bahwa negara Vietnam sendiri dulunya merupakan negara jajahan Perancis.Â
Sebagai tambahan informasi, Masjid Melaka ini dibangun di pulau buatan seluas 1,8 hektare yang masuk pada kawasan Bandar Hilir Negara Bagian Melaka, Malaysia.
Masjid dengan kubah berwarna emas ini, bagian dalamnya juga luas dengan adanya teras samping sekeliling masjid yang menjorok ke lautan. Angin sepoi-sepoi yang berembus dari arah laut membuat udara di dalam masjid menjadi sangat sejuk. Bahkan lahan parkirnya sangat lapang dengan berbagai fasilitas bagi para pelancong yang beristirahat setelah salat di Masjid Melaka ini.
Masjid Putra, Malaysia
Setelah saya tiba di Malaysia, ada satu masjid lagi untuk diulas dan dikenal sebagai icon kota di sana dan wajib dikunjungi oleh orang muslim atau pelancong dari negara lain. Ikon itu adalah Masjid Putra yang terletak di Kota Putrajaya, Provinsi Putrajaya, Malaysia.
Dibangun pada tahun 1997 dan terletak di Alun-alun Putra yang dekat dengan Danau Putra. Hebatnya, Masjid Putra ini bisa menampung 15.000 jamaah sekaligus dengan halaman yang super luas. Dari situ bisa Anda bayangkan betapa megahnya bangunan dan halaman masjid tersebut.
Ada tiga fungsi dari Masjid Putra tersebut. Pertama sebagai tempat salat, kedua sebagai tempat madrasah atau sekolah dan terakhir sebagai halaman untuk wisata, area parkir, salat Ied dan shopping area. Hampir sama dengan Masjid Melaka, Masjid Putra ini juga dibangun di atas permukaan air sehingga menimbulkan ilusi terapung di mata pengunjung saat ketinggian air danau naik.
Diinisiasi pembangunannya oleh Perdana Menteri Malaysia, Dr. Mahathir Mohamad saat itu dan diberi nama Masjid Putra untuk menghormati Tunku Abdul Rahman Putra Al-Haj yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri pertama Malaysia.
Sedangkan gaya arsitekturnya cenderung mengarah pada seni masjid di Persia, Turki atau Iran dengan ciri-ciri oktagonal sebagai penyambung struktur dengan kubah bulat di atasnya. Uniknya, warna masjid ini agak merah muda dan berkesan lembut.
Setiap orang yang ingin masuk ke area Masjid Putra, mereka akan ditanya dokumen seperti Passport atau ID. Card dan diperhatikan teliti oleh petugas, apakah muslim atau tidak, memakai hijab atau tidak, berpakaian sopan atau tidak.Â
Bila ditengarai ada, karena Masjid Putra adalah tempat suci, mereka akan diminta dengan sopan untuk mengenakan jubah yang berwarna merah seperti orang yang sedang memakai jas hujan untuk menutup aurat layaknya kaum muslim.
Catatan dari Singapura, Melaka dan Malaysia untuk Kompasiana.com
Berbagai sumber data dipakai untuk referensi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI