Gw sepakat, bukan usia yang membuat seseorang matang dan tumbuh bijak, tapi pengalaman dan terpaan hidup. Kita melihat dengan nyata, orang yang begitu matang, dewasa, tegar dan dapat dijadikan  contoh bagi semua orang, adalah orang yang sudah melalui jalan terjal yang berliku penuh lubang dan mendaki dengan keringat mengucur deras tapi kau tetap tabah.
Cium gw kalau gw salah kesimpulan.
Anak 15 tahun yang dari kecil harus cari makan sendiri dan survive di pasar induk lalu menghidupi ibu dengan 4 adik, jika bicara tentang bertahan hidup dan suka-duka nyari duit, pasti lebih matang dari gw. Anak 15 tahun yang tumbuh dari keluarga seleb pasti lebih piawai dari kita caranya bersikap didepan bulliers dan haters. Tahu bersikap yang pas saat dicerca dan dipuji, yang kita barangkali akan geer dan lebay saat hadapi yang sama.
Maka, kematangan dan kebijaksaan itu terkaitnya dengan kemampuan kesadaran merespon hal-hal yang melambungkan dan hal-hal yang menjatuhkan. Terkait juga dengan kontrol dan penguasaan diri. Semua adalah soal kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual di sini terkait spontanitas, visioner, rasa kemanusiaan, kemampuan untuk bertanya hal-hal yang bersifat mendalam seperti "siapakah saya dalam dunia ini?" etc etc, kemampuan untuk menerima perbedaan, dan sebagainya.
Jadi sekali lagi, bukan usia. Walau memang, makin lama manusia hidup makin  banyak yang dia alami. Tapi bukan karena  mengalami manusia itu matang dan bijaksana. Memahami apa yang dialami dan mampu mendefinisikan peristiwa lah yang membuat manusia bertumbuh.
Tapi ketahuilah, ada juga manusia yang kelihatan matang dan bijak dan memberikan pencerahan ke banyak orang walau usianya masih seumur jagung, hidupnya ga kemana-mana, ga rasain sakitnya hilang perawan, boro-boro pernah dikubungin preman Blok M, ga rasain lapar di rantau orang, ga ngerasain gempa 8,3 SR atau tawuran antar gang, perang suku atau perang etnik. Mereka bijak karena membaca dan menghapal. Gw pernah lihat anak 7 tahun ceramah tentang kehidupan berapi-api walau kemana-mana dia ga berani kalau ga sama bapaknya. Kadang memang kita sering temuin orang bicara tentang kehidupan, tapi hal-hal sederhana yang dia tunjukin ke kita menunjukkan dia belum matang, malah kontradiksi. Orang bilang nilai ucapannya saja, karena isinya pencerahan. Betul, jika beo mampu berorasi kita jangan lihat beonya, tapi isinya. Dengan kata lain, kita butuh kaset yang mengulang-ulang, karena kita semua ini pelupa.
13 Juni 2017
Estiana Arifin
*Kaset? Jadul amat analoginya. Orang MP3 aja dah dihapus dari dunia. Kya kya kya