Mohon tunggu...
Dzikri Indriyanto
Dzikri Indriyanto Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah pribadi yang memiliki kegemaran mendalam terhadap aktivitas menulis sebagai sarana ekspresi intelektual dan kreasi. Di samping itu, saya juga berkomitmen pada disiplin berolahraga untuk menjaga kebugaran fisik dan mental. Keseimbangan antara kegiatan literasi dan kebugaran ini mencerminkan dedikasi saya terhadap pengembangan diri secara holistik dan berkesinambungan.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Meninjau Ulang Kontrak Kepercayaan Publik: CTAS, Konsolidasi Data, dan Urgensi Kedaulatan Data Wajib Pajak

5 Oktober 2025   07:40 Diperbarui: 5 Oktober 2025   09:44 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), telah memulai babak baru reformasi fiskal dengan mengimplementasikan Core Tax Administration System (CTAS), atau yang dikenal juga sebagai Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP). Proyek ambisius dengan investasi mencapai sekitar Rp2,1 triliun sejak 2018 ini bertujuan membangun platform teknologi tunggal yang mengintegrasikan seluruh proses bisnis perpajakan, dari pendaftaran hingga penagihan. Optimisme mencuat, CTAS diharapkan mampu meningkatkan tax ratio dan mempersempit celah penghindaran pajak melalui analisis big data dan integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP---sebuah langkah yang efektif diterapkan penuh pada awal 2024/2025.

Namun, di tengah gelombang digitalisasi ini, muncul sebuah pertanyaan filosofis dan pragmatis yang mendesak: Sejauh mana sistem yang terintegrasi ini dapat menjamin kedaulatan data dan hak privasi Wajib Pajak (WP)?

Ancaman Data Konsolidasi dan Retaknya Kepercayaan

Prinsip dasar kepatuhan sukarela (voluntary compliance) dalam sistem self-assessment yang dianut Indonesia terletak pada jaminan kerahasiaan data WP. Pasal 41 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) secara eksplisit menjamin kerahasiaan tersebut.

Kekhawatiran publik sangat beralasan. Sistem CTAS dirancang untuk mengkonsolidasikan data sensitif dari berbagai sumber, termasuk data finansial dan riwayat transaksi, menciptakan single point of failure atau titik tunggal kegagalan. Isu kebocoran data yang pernah menimpa institusi pemerintah, termasuk dugaan kebocoran 6 juta data NPWP dan NIK pada September 2024, menjadi preseden yang tidak bisa diabaikan. Meskipun DJP mengklaim kebocoran tersebut bukan berasal dari sistemnya, insiden tersebut secara langsung menggerus kredibilitas otoritas dan mengancam fondasi trust yang esensial untuk membangun cooperative compliance.

Tingkat kepercayaan ini sangat vital. Ketika WP merasa datanya tidak aman atau rentan disalahgunakan, motivasi untuk patuh secara sukarela akan menurun. Ini berpotensi melanggar semangat UU KUP yang menjamin kerahasiaan agar WP tidak ragu memberikan keterangan yang akurat.

Tuntutan Kritis Mahasiswa: UU PDP dan Keamanan Berlapis

Implementasi CTAS yang masif di awal 2025 ini berjalan beriringan dengan tantangan implementasi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang baru. Mahasiswa melihat celah regulasi ini sebagai potensi kerawanan. Kami mendesak otoritas fiskal untuk:

  • Penguatan Keamanan dan Mitigasi Risiko: DJP wajib memastikan bahwa sistem CTAS menggunakan protokol keamanan siber yang kuat, berstandar internasional. Aspek Keamanan Data adalah salah satu kendala implementasi CTAS yang harus diatasi. DJP perlu menunjukkan Audit Trail yang transparan untuk mencatat setiap aktivitas dalam sistem, sehingga jika terjadi pelanggaran, pertanggungjawaban dapat ditentukan.
  • Harmonisasi Regulasi dan Kelembagaan: Pemerintah perlu mempercepat pembentukan lembaga pengawas data pribadi dan regulasi turunan UU PDP. Ketiadaan aturan yang spesifik dapat menciptakan ketidakpastian hukum, padahal Pasal 41 UU KUP sendiri mengancam sanksi pidana bagi pejabat yang membocorkan kerahasiaan data.
  • Transparansi Algoritma (Explainable AI): CTAS memanfaatkan analisis big data untuk mendeteksi kecurangan. Agar sistem pengawasan yang diterapkan adil dan non-diskriminatif, otoritas harus transparan dalam menjelaskan prinsip dasar kerja algoritma yang digunakan untuk penentuan risiko.

Keberhasilan CTAS di Indonesia tidak boleh hanya diukur dari peningkatan efisiensi atau proyeksi kenaikan tax ratio sebesar 1,5%. Keberhasilan sejati adalah ketika Wajib Pajak, termasuk generasi muda yang akan menjadi WP produktif, dapat menggunakan sistem tersebut dengan aman dan penuh keyakinan bahwa hak privasi mereka dihormati. Maka, momentum CTAS adalah ujian bagi Pemerintah: Apakah transformasi digital akan mewujudkan efisiensi yang beradab dan berkepercayaan, atau justru melahirkan aparatus fiskal yang canggih namun rentan terhadap ancaman siber dan hak asasi?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun