Mohon tunggu...
Dyana Ulfach
Dyana Ulfach Mohon Tunggu... -

pelajar di SMK N 11 Semarang, Hobi menulis, suka kebebasan, musik, menyukai semua yang berhubungan dunia tulis menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Balik Ibu

14 Januari 2019   15:23 Diperbarui: 14 Januari 2019   15:25 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Wafer yang kumakan ini begitu renyah. Tipis, dan cokelatnya tak begitu terasa. Duduk di balkon rumah di sore hari ditemani Ratih istriku seperti ini sudah menjadi kebiasaanku di sore hari. Setelah beberapa pekerjaan di kantor yang menyita tenaga dan pikiranku. Sebenarnya, tak semua pekerjaanku seperti itu. Bahkan, di kantor Kelurahan itu aku lebih banyak berdiam diri dibanding berkutat dengan pekerjaan.

Kopi hitam yang tidak pernah absen dari menu sore hariku, aku aduk sesekali, aku minum sedikit demi sedikit karena aku tahu, kopi buatan istriku memang tak pernah manis. Selalu pahit dan aku suka itu. Menikmati kopi bagaikan menikmati hidup. Banyak pahitnya, tapi hanya beberpaa orang saja yang bisa menikmati kepahitan itu. Maka dari itu aku memilih meminumnya sedikit demi sedikit agar hidupku yang tak lepas dari kepahitan bisa bertahan lama.

"Nanti malam jadi kan, mas?"

"Tentu."

***

"Mau kemana kau?"

Bapak mengagetkanku ketika kakiku kulangkahkan hampir mendekati pintu utama. Aku memang tak berniat pamit darinya. Lagi pula biasanya dia tak peduli.

"Pergi. Ada sesuatu yang harus aku urus."

Dia tidak membalas dan aku tidak menghiraukannya yang terus-menerus menimbulkan asap rokok di ruang ini. Dia duduk di kursi sederhana tempat biasanya Ibu menonton TV. Lama-lama aku muak dengan sikapnya.

Sepuluh tahun yang lalu Ibu pergi meninggalkan kami berdua karena penyakit kanker payudara yang menggerogoti tubuhnya. Ibu tidak pernah bercerita tentang penyakitnya, hanya saja beberapa bulan sebelum Ibu meninggal aku mulai merasakan kejanggalan-kejanggalan dari Ibu. Wajahnya yang semakin pucat dan lebih cepat capek. Ibu yang biasanya tidur jam sebelas untuk sekadar menemaniku belajar atau ikut menonton TV, tapi saat itu beliau lebih memilih tidur cepat. Aneh.

Seminggu setelah ulang tahunku ke-7, sakit Ibu makin parah, tubuhnya makin kurus, ibu sering merasa sakit di bagian dadanya. Aku sudah mencoba membujuknnya untuk berobat ke dokter saja, tapi alasan ekonomi, Ibu menolak saranku. Katanya, "Uangnya buat bayar sekolah Tio saja. Buat beli buku.".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun