Mohon tunggu...
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bakul Es :
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang (PTS); Call Center: 0856 172 7474

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kontroversi Sejarah G-30-S/PKI: Apa dan Siapa

23 September 2022   04:33 Diperbarui: 28 September 2022   01:58 1457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: minanews.net

Indonesia 1960-an termasuk negara yang tidak disukai oleh blok Barat pimpinan Amerika Serikat (AS). Di era Perang Dingin itu konflik utama dunia terjadi antara Kapitalis_Liberalis (dipimpin AS) melawan Sosialis_Komunis (RRT dan Uni Soviet). AS sedang bersiap-siap mengirim ratusan ribu pasukan untuk menghabisi komunis di Korea Utara.

Sementara di Indonesia Partai Komunis (PKI) merupakan partai yang legal. Saat kebencian AS terhadap Indonesia memuncak dengan menghentikan bantuan, Presiden Soekarno menyambutnya dengan pernyataan keras: Go to hell with your aid! 

Sebagai pemimpin negara yang relatif baru lahir, Presiden Soekarno menerapkan kebijakan berani: Berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari). Dasar sikap Soekarno itu jelas: Alam Indonesia kaya raya. Minyak di Sumatera dan Sulawesi, hutan maha lebat di Kalimantan, emas di Irian (Papua), serta ribuan pulau yang belum terdeteksi kandungannya. Semua itu belum mampu dieksplorasi oleh bangsa kita. Kekayaan alam ini dilengkapi dengan lebih dari 100 juta penduduk yang merupakan pasar potensial, sehingga ada harapan sangat besar bahwa pada suatu saat Indonesia akan makmur tanpa bantuan Barat. 

Ini pula yang mengilhami sikap konfrontatif Bung Karno: Ganyang Nekolim (neo-kolonialisme dan imperialisme). Bung Karno menyatakan, Indonesia hanya butuh pemuda bersemangat untuk menjadi bangsa yang besar. 

Akibatnya, sikap AS juga menjadi jelas: Gulingkan Presiden Soekarno. Sikap AS ini didukung oleh komplotannya, Inggris dan Australia. Sejak AS menghentikan bantuannya, mereka malah membangun hubungan dengan faksi-faksi militer Indonesia. Mereka melengkapi dan melatih para perwira dan pasukan Indonesia. 

Melalui operasi intelijen yang dimotori oleh CIA, mereka menggelitik militer untuk merongrong Bung Karno. Usaha kudeta muncul pada bulan November 1956. Deputi Kepala Staf TNI AD Kolonel Zulkifli Lubis berusaha menguasai Jakarta dan menggulingkan pemerintah. Namun usaha ini dipatahkan. Lantas, di Sumatera Utara dan Sumatera Tengah, militer berupaya mengambil-alih kekuasaan, tetapi gagal juga. Militer - dengan pasokan bantuan AS - seperti mendapat angin untuk menganggu Bung Karno. Namun, Bung Karno masih mampu menguasai keadaan, karena banyak perwira militer yang masih sangat loyal pada Bung Karno, kendati usaha AS menjatuhkan Bung Karno terus-menerus dirancang. 

Sayangnya, konstelasi politik dalam negeri Indonesia pada saat itu juga tidak stabil. Bung Karno berupaya keras menciptakan kestabilan, namun kondisi memang sangat rumit. Ada Tri Umvirat kekuatan yang mendominasi politik Indonesia saat itu, yaitu: 

  • Unsur Kekuatan Presiden RI
  • Unsur Kekuatan TNI AD
  • Unsur Kekuatan PKI (Partai Komunis Indonesia).

Unsur kekuatan Presiden RI, yakni Presiden RI sebagai Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, Perdana Menteri, Pemimpin Besar Revolusi dan Presiden Soekarno yang akrab dipanggil dengan sebutan: Bung Karno. Anggota Kabinet Dwikora masuk dalam unsur kekuatan ini. Unsur kekuatan TNI AD ada dua kubu, yakni:

  • Kubu Yani (Letjen TNI Ahmad Yani), dan
  • Kubu Nasution (Letjen TNI Abdul Haris Nasution). 

Soeharto awalnya termasuk dalam Kubu Nasution, walaupun kelak mendirikan kubu sendiri. Sedangkan unsur PKI berkekuatan sekitar tiga juta anggota. Hal Itu didukung oleh sekitar 17 juta anggota organisasi-organisasi onderbouw PKI, seperti BTI, SOBSI dan Gerwani. Dengan jumlah itu, PKI merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah RRT dan Uni Soviet. 

Dalam Pemilu 1955 PKI menempati urutan ke-4. Dan, sebagaimana umumnya partai besar, PKI juga memiliki anggotanya di kabinet. Mereka adalah DN Aidit, Menko/Ketua MPRS, Lukman sebagai Menko Wakil Ketua DPRGR dan Nyoto sebagai Menteri Urusan Land-reform. Sebenarnya, sejak 17 Oktober 1952 pemerintahan Soekarno sudah mulai digoyang. 

Kubu Nasution membentuk Dewan Banteng dan Dewan Gajah di Sumatera Selatan. Yang disebut dewan ini, hanya penggalangan massa oleh kubu Nasution, namun mereka terang-terangan menyebut diri sebagai pemerintahan tandingan. Penyebab utamanya adalah karena mereka tidak suka melihat kemesraan hubungan Soekarno-PKI. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun