Mohon tunggu...
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team Mohon Tunggu... Bakul Es :
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang (PTS); Call Center: 0856 172 7474

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Patah Arang Membayang

29 Juli 2022   15:29 Diperbarui: 30 Juli 2022   15:23 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entahlah mengapa, selalu menghantui dan membayang di setiap saat, di ruang dan waktu yang tak mau tahu. Mengharu biru alam pikiranku, mengusik di kala aku tengah berjuang untuk menjadi mau tahu apa yang Engkau mau. Dari kauliyah yang begitu simpel sederhana, namun bermakna luar biasa. Lantas, kucoba menyambungkan dengan sekuat tenaga, antara tangkapan pikiran yang mejelma menjadi pemikiran dari fakta fenomena nan nyata, pantulan semesta alam dan budaya manusia seumumnya, yang bernama kauniyah. 

Tak bolehlah terjadi, bahkan kian menjadi-jadi tiada henti, antara sains teknologi dengan mitologi indoktrinasi yang membalut kalut dengan ekspresi bersungut-sungut, oleh para pelaku yang sok sebagai agamis apapun tanpa kecuali. Merasa diri dan kaumnya yang maha benar, melahirkan jurang yang dalam dan menganga dari masa ke masa. Hingga detik ini, sampai saat ini, yang tak perlu terjadi!

Semuanya harus dan seharusnya menuju harmonisasi. Antara ajaran dari Sang Maha Pencipta Segala dengan kenyataan sosial budaya dan peradaban manusia seumumnya, universal. Tanpa ada penonjolan dan unjuk superioritas sebagai ras, suku bangsa, agama, golongan, dan apapun itu namanya dalam kotak-kotak yang jauh dari seumumnya manusia di alam dunia fana. Tak perlu terjadi itu, bilamana manusia mau tahu dengan apa yang dimaui oleh Sang Perancangbangun kehidupan.

Mengusik selalu ke alam pikiranku, bukan tanpa sebab musabab. Lantaran, antara apa yang kupikirkan dari perjalanan memahami atas apa yang bernama kauliyah di kala berhadapan dengan alam nyata, kenyataan sosial budaya dan peradaban manusia, terjadi selisih dan beda. Mengapa? Nalar logika mengatakan dengan jujur nan seksama dan seharusnya, bahwa antara pantulan kauliyah dan pantulan kauniyah, mestinya wajib klop, harmonis, seimbang, adil, objektif dalam keteraturan nan indah sebagaimana gambaran sebuah kehidupan ideal bernama surga. Justru yang terjadi dan yang kualami dan kuhadapi saat ini, adalah sebuah kehidupan laksana dari gambaran sebuah neraka. Kembali kubertanya, mengapa? Salahkah diriku yang telah dihantui oleh pencapaian usia yang tak kutahu sampai pada titik kapan harus berhenti, bila kukatakan dan kusimpulkan, bahwa dunia beserta penghuninya, manusia seumumnya saat ini, masih dalam lingkaran pikiran, ucap kata dan perilakunya, dalam kubangan yang sarat dengan ketimpangan, disharmonisasi hidup dalam kehidupannya? Salahkah diriku berpandangan dan berpenilaian dalam simpulan ini? Sekali lagi, salahkah diri ini yang sudah tak muda lagi, tua reyot renta dan telah kelabu? Belum bisa mewujudkan dengan seksama ke dalam  bangunan dan tata kehidupan yang putih, dan menandaskan serta mengartikulasikan bila saat ini, kita masih dalam sebuah kehidupan hitam bagai jelaga gulita pekat tanpa cahaya yang harus dihindari bagi manusia seumumnya, jikalau memang mau menjadi hamba Tuhan dengan sepenuh-penuhnya penangggapan tanpa reserve, dan tanpa tedeng bin aling-aling ... 

Diriku tak boleh patah arang! Dan, wajib ditandaskan di ruang dan waktu yang melingkupi keberadaanku sebagaimana manusia seumumnya, sebagai ciptaan Tuhan, bukan manusia yang keberadaannya, muncul dengan sendirinya di dunia, tanpa ada proses sebab dan akibat yang menghadirkannya. Walaupun aku amat menyadari, bila diriku masih belum apa-apa, belum bisa memperhitungkan arti empat lima ribu nyawa, menyitir ungkapan sang punjangga yang melegenda, Chairil Anwar. Dengan prinsip yang masih menggema di seantero negeri, sekali, berarti sesudah itu, mati! Kapan lagi bila tak dimulai dari diri sendiri, dan mulai dari saat ini? Dalam mewujudkannya, membuktikannya. Bila antara kauliyah dan kauniyah harus seiring sejalan, tanpa harus ada jurang perbedaan. Singkat kata, wajib harmonis laksana gambaran surga yang penuh dengan tata kehidupan ideal seimbang dalam keseluruhan, tanpa celah yang menampilkan ketimpangan, secuilpun ... 

Aku harus berjuang, dan  tak boleh gampang patah rang, sampai pada batas waktuku. Dan, aku tak mau tahu apa yang dicelotehkan oleh orang-orang yang telah terbius oleh bisikan rayuan setan, tenggelam dalam kubangan kenikmatan nan menggiurkan. Sementara, komplotan iblis dan setan tertawa sambil menari-nari, setelah membisikkan dan menghembuskan bisikan rayuannya kepada manusia yang masih lelap dalam lena , tak mau tahu dengan maunya Tuhan yang menciptakannya, agar hidup dalam tata kehidupan seimbang nan sempurna menurut ajaran-Nya ... 

Kota Malang, Juli hari kedua puluh sembilan, Dua Ribu Dua Puluh Dua.          

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun