Mohon tunggu...
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bakul Es :
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang (PTS); Call Center: 0856 172 7474

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kuuntai Tanpa Henti, Meski Tak Didengar

19 Januari 2021   03:46 Diperbarui: 19 Januari 2021   04:18 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Aku senantiasa berupaya. Ngeyel pun tidak. Yang jelas, wajib istiqamah dalam sistuasi dan kondisi apapun yang kuhadapi atas sebuah realitas berpelangi, beraneka ragam warna sebagai pantulan, bila kemajemukan pandangan dan sikap adalah sebuah realitas yang tak mungkin dinafikan.

Sepertinya tiba-tiba, 'ujug-ujug', tampilnya pengguncang budaya dan peradaban yang belum dalam satu kendali, masih tepolarisasi dalam si tiga satu. Terbelah ?  Bisa !  Namun, belum mengerucut kepada hitam dan putih. Masih rupa buih-buih serba abu-abu kelabu.

Pengguncang itu diyakinkan, beragen, bercorong begitu teramat manis membuai oleh tampilan wajah dan sosok nan tampan rupawan. Mempedayai mereka. Karena mereka adalah potret para partikel yang gampang dihembus angin, ke arah mata angin. Dan, mereka adalah penyangga alas kaki piramida ! 

Mereka itulah sebenarnya yang berdaulat. Namun begitu gampang terhembus ke arah mata angin menurut sang penghembus yang jumawa sebagai penguasa. 

Kata pemimpin, adalah bungkus dari kepalsuan belaka ! 

Pemimpin ? Masih belum ada, belum tampak. Yang tampak ada, hanyalah topeng-topeng berukir paras pemimpin. yang hakikatnya adalah haus akan sebuah kekuasaan. Sebab, kekuasaan itu menggiurkan hingga mengaburkan batas antara rasa manis dan pahit. 

Pemimpin akan jadi nyata kehadirannya, bila ada pancaran dari dalam dirinya dan terbaca oleh sang penghuni alas kaki piramida. Bahwa hakikatnya adalah budak dari yang dipimpinnya ! 

Senyampang yang demikian itu tak lagi terbaca, apalagi berselimutkan kabut sutera biru, maka kata pemimpin hanyalah pada batas aktor-aktor pemeran tonil seiring dengan maunya sutradara... 

Lelembut yang tak tampak kasat mata itu jadi ledakan dahsyat, melampui nuklir selepas dari hulu ledaknya. Begitu pula ekses yang ditimbulkannya. Meluluhlantakkan pikiran dan lelaku manusia biasa dan yang dianggap luar biasa. Menggerus daya nalar, melumpuhkan pikiran sehat meracun menuju sakit, lalu mewujud di segenap sendi kehidupan dalam pola ketidakteraturan tatanan dan lelaku, menjadi aneh berbalut nyeleneh dari titik demi titik, sudut demi sudut, kaburkan pandangan atas kewajaran dan ketidakwajaran. Ujaran dan lelaku di panggung budaya dan peradaban umat manusia...

Sampai kapankah ?  Sebuah tanya yang tak kunjung bertemu jawabnya ! Sementara kita hanya tinggal menunggu jalannya perguliran sejarah...

Kota Malang, 19-01-2021, 03 : 45 WIB.

*Saat sengguk rinai gerimis dalam impian dan harapan yang tertunda...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun