Di era kita membohongi krisis finansial kita, dengan menganggap kebutuhan tersier itu sama pentingnya dengan kebutuhan-pokok. Kebutuhan tersier, seperti skincare, parfum, make up, sepertinya perlu disampingkan. Terutama ketika saya masih berkutat pada target bersama, sebagai editor akuisisi. Â
Editor akuisisi itu apa, sih?Â
Kalau kita coba cari arti kata Akuisisi di Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata itu punya arti: perolehan. Sementara itu, dalam konteks Ilmu Ekonomi—akuisisi adalah cara perusahaan memiliki perusahaan lain (B2B).
Namun perlu diingat di cerita saya ini, Editor Akuisisi merupakan posisi pekerjaan di industri penerbitan. Kalau Copy Editor bertugas mengecek dan memberi revisi isi buku, sedangkan editor akuisisi mencari dan bernegosiasi pada orang-orang yang berminat menulis buku di penerbitnya si editor akuisisi (B2C).Â
Di bagian mananya seorang editor akuisisi butuh cuan (uang)? Ketika calon-calon penulis meminta bertemu secara tatap muka, dan saat sedang mencari buku-buku pembanding. Dari pengalaman saya, sebagai editor akuisisi buku-buku perguruan tinggi umum/akademik (PTU), dan buku populer (self-improvement), proses menawarkan kolaborasi menulis pada para penulis buku-buku PTU yang sering membutuhkan dana. Dikarenakan beberapa dosen maupun praktisi ilmu tertentu lebih suka menerima surat fisik, dan bertemu tatap muka.Â
Yang dimaksud dana di sini tentunya: uang transportasi dan makan siang—jika pelaksanaan akuisisi berjalan tepat dengan jam istirahat siang. Kedua tipe asupan uang untuk editor akuisisi ini juga berlaku kalau melakukan riset buku pembanding. Buku-buku pembanding ini penting menjadi parameter prospek pemasaran naskah-naskah baru yang dibawa editor akuisisi ke sidang redaksi. Begitu kita mempresentasikan buku-buku baru, isi dan konsepnya harus lebih inovatif.  Â
Reimburse Transport vs Reimburse Maksi
Beda tipe reimburse, beda isunya. Terkadang saya jadi merasa bersalah, karena mbak administrasi—yang menjadi perantara saya dan divisi finance, selalu minta maaf setiap reimburse telat datang. Biasanya ini menyangkut reimburse transport, sedangkan isu reimburse maksi adalah kewajiban membeli makanan dan minuman hanya di tempat yang memberi struk, supaya ada bukti pembayaran.Â
Berarti nggak bisa makan di warteg atau rumah makan yang bayarnya masih cash, tapi waktu saya ngobrol sama salah satu editor akuisisi senior—dia bisa makan di warteg dan reimbursenya bulat (biaya maksinya tiga puluh lima ribu, kantor mengembalikannya juga tiga puluh lima ribu). Kalau biaya maksi saya ada maksimalnya—dua puluh lima ribu, nggak boleh lebih dari angka tersebut (mungkin kesenjangan lamanya waktu pengalaman, ya).Â
Sebagai editor akuisisi yang punya tanggung jawab mengumpulkan stok calon-calon penulis (nggak perlu marah karena disebut stok, kita sama-sama komoditas, kok), target ini yang membuat kita harus putar otak. Kalau mau bicara idealismenya editor akuisisi buku-buku PTU, kita mau banget sebulan dapat tiga sampai empat calon penulis beserta naskah-naskah brilian mereka. Yang artinya, kita perlu mengunjungi para dosen-dosen di dua sampai tiga kampus dalam sebulan. Pertanyaannya, gimana cara tetap ketemu para calon penulis, tapi reimburse transport dan reimburse maksi belum turun?
Jawabannya, uang tambahan dari freelance
Jangan langsung beranggapan generasi muda mudah dapat pekerjaan sampingan. Mencari freelance sama sulitnya dengan melamar pekerjaan purnawaktu.Â