Pada satu adegan latihan yang emosional di Episode 5, Ga-ram menatap timnya yang baru saja kalah telak lalu berteriak lantang:
"Kalian harus belajar kalah. Belajar kalah tanpa menyerah!"
Kalimat itu seperti menyinggung pengalaman Iken dan Tina. Mereka memang kalah di lomba karaoke. Iken gugur sebelum masuk enam besar, Tina hanya bertahan sebentar. Namun, mereka pulang dengan kepala tegak, membawa pengalaman yang lebih berharga daripada sekadar piala.
Saya teringat lagi sebuah momen reflektif dalam serial di Episode 7 ketika Ga-ram menjelaskan filosofi rugbi kepada muridnya di pinggir lapangan:
"Hal terpenting dalam rugbi bukanlah hasil akhirnya, ini tentang proses mendorong dan menantang diri sendiri."
Kalimat itu seperti menjawab pertanyaan para guru yang kadang gelisah: apakah cukup hanya memberi pengalaman meski murid kita tak membawa pulang juara? Jawabannya: ya, karena proses itulah yang membentuk karakter.
Ada pula adegan menyentuh di babak final (Episode 12) ketika seorang pemain, Do Hyeong-sik, mengalami cedera serius. Meskipun pelatih memintanya mundur, Hyung-sik menolak. Keberaniannya untuk terus bermain—melebihi batas fisiknya—tercermin dalam sebuah pertanyaan emosionalnya kepada Ga-ram:
"Apakah kamu akan menyerah jika kamu adalah aku?"
Dialog ini seolah menyuarakan suara hati banyak anak dari pinggiran. Mereka mungkin kecil di mata dunia, tapi tekad mereka untuk tidak menyerah membuat langkah jadi berarti. Saya membayangkan Tina berdiri di panggung kabupaten—gugup, tapi tetap bernyanyi dengan suara lantang.
Kini, Iken dan Tina melanjutkan pendidikan SMA di kecamatan. Keduanya aktif di ekstrakurikuler sekolah. Kekalahan di kabupaten dulu justru jadi titik awal perjalanan baru mereka. Sama seperti anak-anak SMA Hanyang: mereka mungkin sering kalah di lapangan, tapi dari situlah mereka belajar arti kebersamaan, ketekunan, dan percaya diri.