Ada rasa canggung sekaligus berdebar ketika saya menekan tombol “Buka Tabungan Emas” di aplikasi Pegadaian Digital pertengahan tahun 2025 lalu. Layar ponsel saya menampilkan saldo nol, seakan menunggu langkah kecil pertama. Di usia 32 tahun, akhirnya saya punya tabungan emas.
Bukan di loket kantor Pegadaian dengan antrean panjang, melainkan lewat layar ponsel yang selalu saya bawa ke mana-mana. Praktis, modern, tapi tetap menyisakan getaran emosional yang sama: inilah investasi pertama saya yang benar-benar diniatkan untuk masa depan jangka panjang.
Mungkin bagi sebagian orang, memiliki tabungan emas bukan sesuatu yang istimewa. Tapi bagi saya, langkah itu penuh makna. Saya berasal dari keluarga sederhana, yang sejak awal bekerja bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan juga untuk keluarga. Itulah yang membuat langkah membuka tabungan emas terasa begitu emosional.
Saya termasuk bagian dari sandwich generation. Istilah ini memang populer belakangan, tapi rasanya saya sudah menjalaninya sejak awal usia 20-an. Saat itu, ketika banyak teman sebaya menikmati gaji pertama untuk traveling, membeli gawai baru, atau sekadar mentraktir teman, saya justru harus menghitung-hitung bagaimana gaji bulanan bisa cukup untuk membiayai sekolah adik-adik.
Sebagai perantau, biaya hidup pun tidak sedikit. Kontrakan, makan sehari-hari, ongkos transportasi—semuanya harus saya pikirkan sendiri. Gaji yang masuk setiap bulan sering kali langsung habis sebelum sempat menyisihkannya. Tabungan? Apalagi investasi, hanya ada dalam angan-angan.
Di usia yang seharusnya penuh kesempatan untuk mencoba banyak hal, saya justru sibuk memastikan adik-adik tidak putus sekolah. Ada kalanya rasa lelah itu muncul, terutama ketika melihat teman-teman sebaya sudah bisa membeli kendaraan pribadi atau punya simpanan untuk masa depan. Saya hanya bisa menenangkan diri dengan kalimat: “Nanti kalau keadaan sudah lebih baik, saya juga akan mulai menabung.”
Namun, kata “nanti” itu terus saya ulang bertahun-tahun. Hingga suatu hari, seorang rekan kantor dengan santai menunjukkan saldo tabungan emasnya. Ia bercerita bagaimana tiap bulan, ia menyisihkan sedikit dari gajinya untuk membeli emas melalui aplikasi. Tanpa terasa, jumlah gramnya terus bertambah.
Saya hanya bisa tersenyum kala itu, menahan rasa iri. Dalam hati saya berkata: “Andai saja bisa memulai lebih cepat, hasilnya tentu akan lebih besar.” Penyesalan itu muncul berulang kali, terutama ketika saya mendengar cerita teman lain yang sudah mulai berinvestasi sejak masih kuliah.
Sebenarnya, saya sempat mencoba beberapa instrumen investasi lain. Reksa dana, saham, hingga produk digital yang sedang tren. Namun, karena kebutuhan mendesak, hasilnya sering kali tidak bertahan lama. Begitu ada biaya tak terduga, tabungan itu habis terjual. Rasanya seperti berlari di tempat—selalu mulai dari nol, tanpa pernah benar-benar berkembang.
Gram Pertama: Simbol Keberanian
Titik balik saya datang dari percakapan sederhana dengan rekan kantor tadi. Ia bilang, “Coba aja dulu. Nggak usah langsung banyak. Mulai aja dari kecil. Yang penting konsisten.”