Mohon tunggu...
Dedi Dwitagama
Dedi Dwitagama Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Pendidik yang bermimpi makin banyak anak negeri yang percaya diri dan berani berkompetisi. Mengajar Matematika di SMKN 50 Jakarta - Blogger sejak 2005: http://dedidwitagama.wordpress.com, http://fotodedi.wordpress.com dan http://trainerkita.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perubahan Model Tawuran Pelajar Era Pandemi

7 Maret 2022   11:52 Diperbarui: 9 Maret 2022   09:47 1049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua tahun lebih, pandemi masih terus mendera bumi, banyak hal yang berubah di muka bumi termasuk model tawuran di negeri ini. Zaman dulu yang tawuran adalah mahasiswa, pelajar SLTA, kini makin muda usianya ... pelajar SLTP melakukan tawuran hingga bacok-bacokan.

Perubahan berikutnya adalah pilihan waktu tawuran, kalau zaman dulu tawuran dilakukan pada hari sekolah pada jam setelah pulang sekolah, biasanya berlangsung di jalan, lokasi perjumpaan jalur bis antar sekolah atau di sekitar sekolah yang digeruduk oleh lawannya dari sekolah lain. Kini tawuran berlangsung hari Minggu, lewat perjanjian di sosial media.

Dulu, tawuran berlangsung antara pelajar satu sekolah atau sekelompok sekolah dengan pelajar sekolah lain atau sekelompok dari lain sekolah. Kini tawuran berlangsung antara murid satu sekolah yang mungkin berbeda geng, kelompok atau kelas.

Yang mengerikan, anak-anak SMP sangat ringan menggunakan senjata tajam untuk melukai kawannya dan seolah orang tuanya tak tahu jika anaknya keluar rumah membawa senjata tajam untuk tawuran, bagaimana bisa?

Pemerintah melalui Dinas Pendidikan melakukan kegiatan penanganan tawuran dengan mengumpulkan pengurus OSIS sekolah di daerahnya, padahal para pelaku tawuran hampir bisa dipastikan tidak menjadi pengurus OSIS di sekolahnya. Kompetisi atau Lomba berbagai kegiatan ekstra kurikuler untuk menyalurkan minat murid, yang sayangnya hampir tak ada pelau tawuran yang aktif di kegiatan ekstra kurikuler sekolah. Polisi, atau Badan Narkotika Nasional (BNN) mengumpulkan beberapa utusan anak nakal di sekolah untuk dibina dalam suatu kegiatan yang berlangsung beberapa hari.

Umumnya kegiatan berlangsung setahun sekali yang menyentuh sangat sedikit murid sekolah, apalagi pelajar pelaku tawuran. Mereka membentuk semacam organisasi di sekolah dengan berbagai nama dan istilah yang intinya membentuk struktur pemimpin, asisten dan anggota. Sang pemimpin biasanya sangat disegani dan selalu diikuti oleh anggota apapun yang diperintahnya, diawali dari sekedar minta dibelikan air mineral, rokok, korek api, bensin, bakso, hingga cimeng (ganja). Umumnya sekolah yang muridnya gemar melakukan tawuran sangat murah memberi nilai kepada muridnya dan tak berani memberi hukuman skor, dikeluarkan dari sekolah, tak naik kelas atau tak lulus kepada murid jarang masuk atau jarang ikut pelajaran di kelas dan tak punya nilai cukup untuk mengisi raport, karena guru-guru dan wali kelas seolah takut pada mereka.

Ketika para pelaku lulus, biasanya mereka masih sering datang mengunjungi sekolah, umumnya memilih warung di sekitar sekolah yang menjadi tempat nongkrong atau berkumpul saat mereka masih sekolah, dan para yuniornya sering datang ke tempat itu untuk "nongkrong" membicarakan kenangan saat di sekolah dan tawuran masa lalu.

Para pelaku tawuran secara sadar memilih tawuran sebagai pilihan kegiatan mereka di sekolah, bukan OSIS, atau ekstra kurikuler, karena sekolah tak mengapresiasi kegiatan OSIS dan ekskul serta tak memberi sangsi untuk pelaku tawuran.

Seharusnya sekolah adalah fihak yang paling tahu indikasi bakal terjadi tawuran di dalam atau di luar sekolah. Salah satu tempat mengamati potensi itu ada di kantin sekolah, jika ada lokasi-lokasi yang hanya boleh ditempati oleh kelompok atau orang tertentu, mereka adalah terduga pelaku tawuran. Warung-warung atau tempat nongkrong radius 50 meter dari sekolah harus diamati pada pagi dan siang hari sesudah pulang sekolah, karena dari tempat itu tawuran direncanakan dan dimulai.

Anehnya, sekolah seolah tak tahu jika ada geng-geng di sekolahnya dan tak melakukan antisipasi pencegahan agar hal itu tak terjadi. Kan sekarang lebih sering PJJ atau Pembelajaran Jarak Jauh, sehingga tak terdeteksi kelakuan murid membentuk geng. 

Sebenarnya, saat PJJ atau belajar normal seperti dulu, pelaku tawuran atau anggota geng itu gampang terdeteksi dari frekuansi kehadiran kegiatan belajar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun