Mohon tunggu...
DWI SUNARTIPUSPITASARI
DWI SUNARTIPUSPITASARI Mohon Tunggu... Seorang pembelajar

Sedang belajar kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sekolah sebagai Laboratorium Karakter: Membangun Moderasi Beragama melalui Filsafat Pendidikan

12 Oktober 2025   17:26 Diperbarui: 12 Oktober 2025   17:26 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekolah sebagai tempat pendidikan memiliki peran strategis sebagai laboratorium karakter, tempat siswa tidak hanya belajar akademik tetapi juga menanamkan nilai-nilai toleransi, empati, dan tanggung jawab sosial. Seperti halnya laboratorium sains, sekolah merupakan  ruang di mana konsep-konsep karakter seperti kejujuran, disiplin, tanggung jawab, dan toleransi akan diuji coba dan dipraktikkan secara nyata melalui interaksi sosial dan aktivitas sehari-hari, bukan hanya dipelajari secara kognitif. Berbagai kegiatan di sekolah yang beranekaragam dari kegiatan pembelajaran, penerapan aturan dan kegiatan organisasi berfungsi sebagai "praktikum" karakter. Kegiatan praktikum memungkinkan siswa untuk belajar bertumbuh, merefleksikan perilaku, dan melakukan kebiasaan baik dari guru sebagai model dan fasilitator. Oleh sebab itu, sekolah bertransformasi dari tempat penyaluran ilmu menjadi arena simulasi kehidupan yang bertujuan mempersiapkan individu berkarakter kuat .

Pendidikan karakter di sini tidak bersifat teoritis semata, tetapi diwujudkan melalui praktik sehari-hari, interaksi sosial, dan budaya sekolah yang mendukung keharmonisan antar siswa. Pendidikan karakter dan moderasi beragama menjadi sangat relevan bagi siswa di sekolah agar siswa mampu hidup dengan harmonis, memahami perbedaan, dan menumbuhkan rasa saling menghormati. Pendidikan karakter adalah proses pembentukan nilai, moral, dan kepribadian peserta didik melalui sikap, perilaku, dan kebiasaan. Proses ini bertujuan mengembangkan kemampuan mereka dalam mengambil keputusan yang tepat, menjaga hal-hal baik, serta mewujudkan dan menyebarkan kebaikan dalam kehidupan sehari-hari secara tulus (Putra, 2019). Akan tetapi, laboratorium karakter  tidak akan tercapai tanpa landasan yang kuat dari Filsafat Pendidikan. Filsafat pendidikan memiliki peran penting sebagai landasan dalam membentuk karakter siswa dalam menemukan nilai-nilai dan konstruksi berbagai karakter serta moral yang baik dan bijaksana. Dalam konteks ini, filsafat pendidikan menjadi alat yang efektif untuk menginternalisasikan nilai-nilai yang dapat membentuk karakter positif pada diri siswa. Pemahaman mendalam tentang nilai-nilai tersebut menghasilkan kejujuran, bertanggung jawab, kerjasama dan menghargai perbedaan (Aryana, 2021).

Sekolah sebagai Laboratorium sangat penting untuk membangun moderasi beragama, yaitu sikap beragama yang adil, seimbang, toleran, dan terintegrasi dengan komitmen kebangsaan. Moderasi beragama merupakan salah satu program nasional yang harus diimplementasikan di negara dengan keberagaman, baik keberagaman agama, budaya, maupun adat. Keberagaman tersebut dapat menjadi alat pemersatu Indonesia jika dikelola dengan baik (Fahri et al., 2019). Salah satu cara menerapkan moderasi beragama adalah menjadikan lembaga pendidikan sebagai laboratorium moderasi beragama sekaligus melakukan pendekatan sosial-religius dalam kehidupan beragama dan bernegara (Sutrisno, 2019).

Konsep sekolah sebagai laboratorium karakter dalam membangun moderasi beragama sejalan dengan pemikiran filsafat pendidikan klasik hingga modern, terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan John Dewey. Salmiyanti dan Desyandri (2023) menjelaskan bahwa filsafat pendidikan Plato dipengaruhi oleh pemikiran Socrates, meskipun kemudian Plato mengembangkannya secara lebih sistematis dan idealis. Dalam karyanya "Republik", Plato menyatakan bahwa pendidikan bertujuan membentuk karakter dan jiwa individu agar mampu berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang adil. Konsep pendidikan Plato harus menumbuhkan kebajikan dan pengetahuan sehingga dapat melahirkan pemimpin yang bijaksana dan beretika. Dengan demikian, pendidikan tidak sekadar proses transfer pengetahuan, melainkan juga pembentukan karakter yang mendalam. Dalam konteks moderasi beragama, Plato mengajarkan bahwa siswa perlu dibimbing untuk memahami kebenaran, menilai nilai moral secara kritis, dan mengambil keputusan berdasarkan kebijaksanaan. Guru membimbing siswa dapat belajar mengenali perbedaan agama sebagai sumber kekayaan, bukan konflik, sehingga tercipta toleransi yang mendalam dan rasional.

Menurut Darnanngsih (2024), filsafat pendidikan Aristoteles banyak dipengaruhi oleh ajaran Plato, namun ia mengembangkan pendekatan yang lebih praktis dan empiris. Jika Plato menekankan pentingnya pengetahuan ideal, maka Aristoteles lebih menekankan pengalaman konkret dan realitas sehari-hari. Aristoteles berpendapat bahwa pendidikan harus berorientasi pada kehidupan nyata dengan tujuan mengembangkan karakter serta kebajikan individu. Sejalan dengan itu, Barella et al., (2024) menjelaskan bahwa dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles menegaskan pendidikan bertujuan mencapai kebahagiaan, yang diwujudkan melalui pengembangan kebajikan serta kemampuan individu untuk berfungsi secara efektif dalam masyarakat. Salah satu konsep penting dalam pemikiran pendidikan Aristoteles adalah "eudaimonia," yang berarti keadaan hidup yang baik atau berbahagia. Ia berargumen bahwa pendidikan harus membentuk individu menjadi warga negara yang baik, yang mampu berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai hal ini, pendidikan harus mencakup pengembangan aspek moral, intelektual, dan fisik. Aristoteles menekankan pentingnya pendidikan fisik dan seni, di samping studi akademis, sebagai bagian dari pembentukan individu yang seimbang (Wahyudi et al., 2023). Prinsip moderasi beragama berdasarkan filsafat pendidikan Aristoteles yiatu karakter siswa terbentuk melalui kebiasaan baik, seperti menghormati teman yang berbeda keyakinan, bekerja sama dalam proyek bersama, dan menyelesaikan konflik secara damai. Konsep ini sejalan dengan pendidikan karakter modern, di mana nilai-nilai seperti kejujuran, disiplin, empati, dan tanggung jawab ditanamkan melalui pengalaman nyata.

Selain itu, filsafat pendidikan modern, khususnya John Dewey, menekankan pembelajaran yang bersifat pragmatis dan berbasis pengalaman. Sekolah dapat mengimplementasikan moderasi beragama melalui kegiatan proyek, diskusi kelas, simulasi konflik, atau pelayanan sosial yang melibatkan siswa lintas agama. Anak-anak belajar menghargai perbedaan, menyelesaikan masalah secara kolaboratif, dan menginternalisasi nilai toleransi dalam kehidupan nyata.

Pertanyaan-pertanyaan muncul sebagai bentuk refleksi  yang sangat relevan dengan implementasi di sekolah adalah: "Sejauh mana konsistensi guru sebagai 'ilmuwan' utama di laboratorium karakter? Apakah guru mampu menjadi teladan nyata dalam moderasi beragama? Apakah prakdalam praktiknya mguru mampu menjalankan  dengan prinsip-prinsip keadilan dan toleransi yang diajarkan?" Apabila guru, melalui perkataan dan tindakannya sehari-hari (misalnya dalam menyikapi perbedaan pendapat, menghargai siswa dari latar belakang yang berbeda, atau merespons isu sensitif), gagal mencerminkan sikap moderat, maka seluruh program karakter akan kehilangan legitimasi dan otentisitasnya. Oleh karena itu, filsafat pendidikan memastikan bahwa pembentukan karakter dan moderasi bukan sekadar proyek kurikulum, melainkan sebuah budaya sekolah yang dihidupi oleh seluruh warga, menjadikannya model ideal bagi kehidupan masyarakat yang damai dan majemuk.

Dengan demikian, mengintegrasikan filsafat pendidikan klasik dan modern dalam pembelajaran karakter menjadikan sekolah sebagai laboratorium yang efektif untuk menumbuhkan moderasi beragama. Siswa tidak hanya menjadi cerdas secara akademik, tetapi juga bijak, berbudi pekerti luhur, dan mampu hidup harmonis dalam masyarakat multikultural. Pendidikan karakter berbasis filsafat ini membentuk generasi muda yang berkarakter, toleran, dan berdaya saing secara moral dan intelektual.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun