Teori utilitarianisme merupakan salah satu aliran besar dalam filsafat hukum yang menilai suatu tindakan atau kebijakan berdasarkan dampaknya terhadap kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat. Inti dari teori ini adalah bahwa hukum harus dilihat dari manfaat yang ditimbulkannya, bukan hanya dari bentuk atau prosedurnya. Dengan kata lain, baik buruknya suatu kebijakan hukum tidak ditentukan oleh niat atau proses pembuatannya, melainkan oleh hasil akhirnya bagi masyarakat luas.
Utilitarianisme berfokus pada konsekuensi. Hukum yang dianggap berhasil adalah hukum yang mampu membawa dampak positif berupa meningkatnya kesejahteraan publik dan berkurangnya penderitaan sosial. Oleh karena itu, teori ini sering disebut sebagai aliran yang bersifat teleologis, yakni menilai sesuatu berdasarkan tujuan dan hasil yang dicapai.
Ada beberapa prinsip pokok yang dapat menjelaskan teori ini secara lebih jelas:
a. Prinsip kebahagiaan terbesar (the greatest happiness principle). Prinsip ini menegaskan bahwa suatu aturan atau kebijakan hanya dapat dikatakan baik apabila menghasilkan kebahagiaan yang lebih besar bagi sebanyak mungkin orang.
b. Penekanan pada hasil akhir. Ukuran keberhasilan suatu kebijakan hukum tidak terletak pada cara pembuatannya, tetapi pada akibat yang nyata dirasakan oleh masyarakat.
c. Pertimbangan mayoritas. Teori ini cenderung melihat manfaat hukum dari sisi jumlah terbesar orang yang merasakan dampaknya. Dengan kata lain, kepentingan mayoritas seringkali didahulukan dibandingkan kelompok kecil atau minoritas.
Meskipun memberikan landasan kuat bagi tercapainya kepastian dan efektivitas hukum, utilitarianisme juga tidak lepas dari kritik. Salah satu kritik yang menonjol adalah potensi terabaikannya hak-hak minoritas. Karena fokus utamanya pada kebahagiaan mayoritas, ada kemungkinan kepentingan kelompok kecil dikorbankan demi tercapainya manfaat yang lebih luas. Selain itu, kebahagiaan bersifat subjektif dan sulit diukur secara pasti, sehingga penilaian mengenai apakah suatu kebijakan benar-benar meningkatkan kesejahteraan masyarakat seringkali menimbulkan perbedaan pandangan.
Tokoh-tokoh seperti Jeremy Bentham dan John Stuart Mill merupakan dua filsuf utama yang mengembangkan utilitarianisme. Bentham menekankan pada kebahagiaan yang sifatnya kuantitatif, yaitu semakin banyak kenikmatan dan semakin sedikit penderitaan yang dihasilkan, maka semakin baik suatu kebijakan.Â
Sementara itu, Mill memberikan nuansa yang lebih mendalam dengan membedakan antara kesenangan yang lebih rendah (fisik) dan kesenangan yang lebih tinggi (intelektual dan moral), serta menegaskan pentingnya kebebasan individu sebagai bagian dari kebahagiaan manusia.
Penutup
Teori utilitarianisme dalam filsafat hukum memberikan sudut pandang yang kuat bahwa hukum seharusnya membawa manfaat nyata bagi masyarakat luas. Prinsip kebahagiaan terbesar menjadi dasar dalam menilai suatu aturan atau kebijakan, sehingga fokus utamanya adalah pada kesejahteraan bersama. Meskipun tidak luput dari kritik, terutama karena potensi pengorbanan hak-hak minoritas, utilitarianisme tetap menjadi salah satu teori penting yang memberikan arah bagi pembentukan hukum yang bertujuan menciptakan kebahagiaan sebanyak mungkin orang.
ReferensiÂ
Buku :
[1] Roshadi, R. A. (2024). Filsafat hukum: Konsep-konsep dasar filsafat hukum dan analisis isu-isu kontemporer. Yogyakarta. ANAK HEBAT INDONESIA.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI