Pertanyaan ini seringkali muncul ketika kita melihat ketidakadilan hukum di Indonesia. Berdasarkan data Komisi Yudisial, dari 2015 hingga saat ini, terdapat lebih dari 2.100 laporan pelanggaran etik hakim, dengan ratusan kasus terbukti menerima suap atau gratifikasi.Â
Keadilan seharusnya menjadi tujuan hukum, tapi dalam beberapa kasus, keadilan lebih seperti komoditas yang bisa dibeli. Hal ini menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Menurut Survei Indikator Politik Indonesia tahun 2025, hanya 36,7% masyarakat yang masih mempercayai lembaga peradilan.
Penyebab utama ketidakadilan hukum adalah:
- Struktur Lembaga Peradilan yang Hierarkis dan Tertutup: Struktur ini menciptakan ruang gelap bagi praktik suap dan kolusi dengan kekuatan ekonomi dan politik.
- Kurangnya Akuntabilitas dan Pengawasan: Sistem akuntabilitas dan pengawasan yang lemah memungkinkan pelanggaran hukum terjadi tanpa konsekuensi yang tegas.
- Pengaruh Kekuasaan dan Uang: Keadilan seringkali ditentukan oleh siapa yang berkuasa dan memiliki uang, bukan oleh hukum itu sendiri.
Untuk mengatasi masalah ini, perlu dilakukan reformasi lembaga peradilan yang komprehensif, termasuk:
- Pembentukan Tim Reformasi: Tim ini dapat melakukan audit integritas, reformasi kelembagaan, dan perombakan sistem rekrutmen serta promosi hakim.
- Peningkatan Transparansi: Meningkatkan transparansi dalam pengelolaan lembaga peradilan dan proses hukum.
- Pengawasan yang Ketat: Melakukan pengawasan yang ketat terhadap lembaga peradilan untuk mencegah praktik suap dan kolusi.
Dengan demikian, diharapkan keadilan dapat ditegakkan secara lebih efektif dan imparsial, serta kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan dapat dipulihkan.