Mohon tunggu...
Dwi Prakoso
Dwi Prakoso Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perang Dingin Jilid II, Mungkinkah Terjadi?

22 Oktober 2016   12:47 Diperbarui: 22 Oktober 2016   13:21 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu hal yang menarik dari perkembangan dunia internasional terkini adalah masih adanya 'aroma' perang dingin antara Rusia dan 'sang great power' Amerika Serikat. Betapa tidak, sejak berakhirnya perang dingin dengan jatuhnya Uni Sovyet pada tahun 1991, Rusia kini masih dianggap sebagai salah satu negara yang mampu melakukan balance of powerterhadap pengaruh AS, meskipun dalam beberapa hal kehadiran Tiongkok juga dianggap sebagai rising poweruntuk mengimbangi AS.

Beberapa hal menarik kemudian terjadi dalam beberapa bulan terakhir seperti era Perang Dingin antara Uni Sovyet dan AS sebelumnya. Sebut saja aneksasi Rusia ke Crimea, Ukraina pada tahun 2014 membuat AS harus menempatkan Rudal Pertahanan Aegis di Rumania. Kemudian pengiriman Armada Utara Angkatan Laut Rusia ke Suriah yang didalamnya juga turut dilengkapi dengan kehadiran kapal induk Admiral Kuznetov makin menambah daftar panjang hubungan dua negara super powertersebut. Apa yang sebenarnya terjadi? Mari ulas satu per satu.

Sejak dilakukannya aneksasi Crimea oleh Rusia pada tahun 2014, ketegangan antara Rusia dan Barat, dalam hal ini dipimpin oleh AS kembali meningkat. AS menuduh Rusia mulai menjalankan perluasan wilayah untuk mengembalikan era kejayaan Uni Sovyet, hal yang sangat dibantah oleh pihak Rusia sendiri. Akibat dari aneksasi Rusia tersebut, AS kemudian merespon dengan menyebarkan sistem rudal pertahanan Aegis RIM-161 di Polandia pada 2015 dan di Rumania pada pertengahan 2016. Rusia kemudian merespon dengan keras penempatan sistem pertahanan rudal tersebut karena dianggap merusak kestabilan strategis dan geografis di wilayah tersebut.

Kemarahan dari pihak Rusia tentu bukan tanpa alasan. Meskipun AS menyatakan bahwa sistem pertahanan tersebut dibuat untuk melindungi Eropa dari serangan rudal balistik yang muncul dari Timur Tengah maupun Korea Utara, para analis menyatakan bahwa sangat jelas sistem pertahanan Rudal Aegis ditujukan untuk melindungi Eropa dari “serangan” Rusia. Rudal Aegis ini dianggap tidak hanya mampu menembak jatuh rudal balistik antar benua (ICBM) dan rudal balistik kapal selam di tengah lintasannya, namun juga di awal lintasan penerbangan sehingga keakuratan untuk melindungi Eropa juga sangat terjamin.

Apa yang dilakukan oleh AS ini pada dasarnya sesuai dengan pemikiran John Mearsheimer dari Universitas Chicago, AS. Sebelum terjadinya aneksasi Krimea, Mearsheimer telah memperingatkan bahwa Rusia akan memperluas wilayahnya, terutama ke kawasan yang dinilai strategis. Hal ini sesuai dengan prediksinya bahwa setiap great powerakan bersifat ofensif untuk meningkatkan power yang dimilikinya. Dengan power yang dimilikinya tersebut maka akan menjamin bahwa negara tersebut untuk survivedan tidak ada satupun negara lain yang mampu mengancamnya.

AS tentu tidak bisa berdiam diri dengan membiarkan “halaman belakangnya” diganggu oleh negara lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa Eropa adalah garis terdepan AS yang harus dilindungi karena kehancuran Eropa berarti kehancuran pula bagi AS sehingga penting bagi AS untuk melindungi Eropa agar AS tetap survive.Menjadi sangat logis bagi AS yang kemudian menempatkan sistem pertahanan rudal Aegis agar tidak ada lagi wilayah Eropa yang jatuh ke Rusia.

Hal kedua yang dilakukan oleh AS untuk mencegah agar Rusia tidak terus meningkatkan kemampuan ofensifnya adalah dengan mencegah kemampuan nuklir Rusia. Sejak tahun 2010, AS mengadakan Nuclear Security Summitatau KTT Keamanan Nuklir yang kemudian terus berlanjut setiap 2 tahun sekali hingga berakhir pada KTT puncak ke empat pada April 2016. Pada KTT Keamanan Nuklir kedua di Seoul, Korea Selatan, Rusia dan AS juga mencapai komitmen yang signifikan dimana kedua negara sepakat untuk menurunkan sekitar 3.000 bahan yang akan digunakan sebagai senjata nuklir melalui Highly Enriched Uranium (HEU) menjadi Low Enriched Uranium (LEU).

Perlu diketahui bahwa HEU berarti memperkaya uranium di atas 20% dan biasa untuk memproduksi senjata nuklir yang diperkaya hingga 90%. LEU itu sendiri berarti memperkaya uranium hanya sebesar 5% dan biasanya untuk kebutuhan energi. Dengan adanya komitmen tersebut, kedua negara berarti sepakat untuk sama – sama menurunkan cadangan bahan nuklirnya untuk menjadi senjata.

Sayangnya, pada KTT Keamanan Nuklir keempat di Washington DC, AS pada 2016, Rusia tidak dapat memenuhi undangan dari AS untuk hadir di pertemuan terakhir dari KTT yang telah berjalan tersebut. Padahal, KTT yang terakhir ini juga merupakan puncak dari KTT Keamanan Nuklir yang ingin mengadopsi semua Draft Communiquedari 3 pertemuan sebelumnya. Tentu ini juga merupakan suatu masalah besar mengingat Rusia sudah menyepakati berbagai hal dalam pertemuan sebelumnya sehingga dipertanyakan bagaimana status komitmen yang sudah dicapai oleh Rusia pada 3 KTT sebelumya.

Apa yang dilakukan Rusia tentu memiliki alasan logis tersendiri. Rusia menyadari bahwa apabila ia harus mereduksi nuklir yang dimiliki, itu berarti ia mereduksi poweryang ia miliki. Menurut Mearsheimer, mereduksi powerberarti ia akan semakin tidak aman karena negara lain yang memiliki powerlebih baik akan dengan mudah untuk menyerang atau bahkan menjatuhkan negara yang power-nya lebih rendah. Padahal tujuan utama dari sebuah negara adalah untuk bisa survivedan memaksimalkan poweradalah cara untuk bisa mencapai tujuan tersebut.Tentu Rusia tidak dapat mengambil risiko tersebut dengan “mengalah” terhadap AS.

Dalam beberapa hari terakhir ini, kita juga melihat bagaimana Rusia mengerahkan Armada Utara Angkatan Laut-nya untuk dikirim ke Laut Tengah. Armada tersebut dipimpin oleh sebuah kapal induk Admiral Kuznetzov yang didalamnya terdapat jet – jet tempur, pesawat pengintai, helikopter hingga rudal penjelajah untuk mendukung pasukan pemerintah Suriah melawan para pemberontak yang didukung Barat. Kapal induk ini juga dikawal kapal perang Pyotr Veliky, kapal perusak Admiral Kulakov, serta beberapa kapal logistik. Dari sini terlihat bagaimana Rusia ingin menunjukkan kekuatan ofensif yang dimiliki sehingga ia bisa menjadi great powerdan tidak ada negara lain yang berani untuk melawannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun