Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Dari Banjir 212, Jakarta Menentukan Pemimpinnya

22 Februari 2017   09:22 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:25 956
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Datang ke Jakarta tahun 2001, karena panggilan kerja sebagai guru. Sehari-hari  menempuh perjalanan dari Blok M ke Pulo Gadung, berganti lagi naik angkot dari Vespa di Pulo Gadung Menuju kelapa Gading. Naik Bus Jakarta zaman dulu selalu punya cerita. Dari kisah pencopetan, preman berlagak  pengamen dan pengamen beneran yang suaranya benar-benar memukau, atau yang hanya sekedar  membunyikan alat musik tapi nadanya ke mana-mana.  Setelah punya cukup punya uang dengan sedikit bantuan orang tua membeli motor untuk  membuat perjalanan lebih cepat.  

Hidup di pemukiman padat penduduk di Petogogan saya terbiasa menikmati banjir. Padahal di desa jarang ada banjir yang sampai melimpah ke rumah, kalau banjir dari  bandang pintu air yang ada di dekat induk sungai ditutup, sehingga tidak melimpah ke rumah penduduk. Di Jakarta terendam banjir itu sudah biasa, apalagi di Petogogan, semua maklum. Rumah-rumah yang berada dibibir kali krukut itu tak pernah absen terkena banjir. Tapi tetap saja banjir tak membuat mereka  keluar dari kampung mereka. Selama lebih dari 4 tahun hidup di daerah banjir  saya sudah kenyang bagaimana  menderitanya terkena dampak banjir, tapi dalam penderitaan itu tidak sampai membuat  korban banjir  tidak pernah tertawa. Justru saat terkena banjir kadang muncul joke-joke  lucu.

Saya punya cerita, mungkin pernah saya share khan di Kompasiana.  Di gang kampung Petogogan dengan banjir hingga seleher(tinggi saya sekitar 161 cm). Banyak sampah dan kotoran hijrah, terbawa arus menuju ke tempat yang lebih rendah. Berpapasan dengan botol kosong sudah biasa, berpapasan dengan kolor manusia amat biasa, nah berpapasan dengan kotoran manusia itu  sementara saya tidak bisa menghindar karena derasnya arus  banjir itu mau apa lagi. Dengan tersenyum kecut pasrah saja  tersenggol  (**k)manusia tersebut. Itu dukanya banjir. Belum lagi pasca banjir harus menguras lumpur-lumpur yang menempel di dinding rumah, membuang sisa-sisa kasur yang sudah tidak layak pakai, membongkar sofa dan membuangnya di tumpukan sampah di samping Sekolah SMAK Tarakanita.

Kala banjir melanda dunia  gelap pekat mesti dirasakan, tidur dalam suasana lembab karena banjir yang tidak surut-surut hampir 2 minggu lebih(bahkan hampir satu bulan). Saya hanya mengandalkan stok Indo mie dan bantuan dari tim SAR  banjir  melemparkan ransum makanan untuk kita-kita yang tidak mengungsi dan harus menunggu rumah. Masih lumayan karena air PAM tidak mati dan bisa mandi di lantai 2. Tapi untuk buang air besar?maaf, saya harus nangring di bibir jendela dan membiarkan  kotoran yang keluar dari pantat saya mengikuti aliran air banjir(terpaksa sih, mau gimana lagi, itu satu-satunya cara terbebas dari penderitaan  karena menahan luapan isi perut yang sudah melimpah di perut.

Banjir Jakarta dari waktu ke waktu selalu mempunyai cerita. Dan saat sekarang sudah tinggal di Cengkareng  masih saja terkena dampak banjir meskipun tidak terlalu parah  seperti ketika tinggal di tepi kali Krukut. Di Petogogan bahkan saat masih terang benderang dan tidak ada tanda-tanda banjir air bisa datang tanpa permisi. Jika Waduk Katulampa melimpah dan curah hujan di sekitar Bogor melimpah mau tidak mau warga petogogan harus selalu siaga untuk segera menyingkirkan barang berharga terutama motor untuk diungsikan  ke tempat yang lebih tinggi. Mereka sudah terbiasa menghisap bau amis, bau lumpur, bau kotoran manusia. Selama berpuluh-puluh tahun tidak ada solusi untuk mengatasi banjir dan yang ada banjir itu hanya dijadikan lahan janji bagi partai-partai politik untuk merebut simpati warga Warga agar peduli pada partainya.

Banjir di Daan Mogot Januari 2013 (dokumen pribadi)
Banjir di Daan Mogot Januari 2013 (dokumen pribadi)
Sejak,  Jokowi dan Ahok memimpin Jakarta, perubahan itu tampak terasa. Saya juga merasakan benar, ketika dulu  selalu melintas jalur  Roxi, Jalan  depan Trisakti, Jln Dr Susilo  menuju ke Daan Mogot. Sepanjang jalan hambatan banjir, genangan di jalanan mencapai ketinggian lebih dari satu meter. Untuk sampai Ke Cengkareng dengan motor saya harus mencari jalan bahkan sampai ke Tangerang untuk bisa sampai ke Cengkareng. Sejarah itu tercatat di memori saya. Sekarang di tahun 2016 – 2017 saya melihat perubahan besar. Kemarin banjir 212 amat istimewa. Setelah infrastruktur dibenahi, alur sungai, kanal-kanal dikeruk, serta pintu-pintu air dibangun Daan Mogot di sekitar  Cengkareng aman dari penderitaan terkena dampak banjir  yang selalu datang hampir tiap tahun. Kalau masih ada wilayah-wilayah yang terkena banjir di Jakarta tentu kita harus maklum posisi Jakarta yang ada di dataran rendah dan banyak daerah cekungan dan dekat dengan laut memungkinkan Jakarta untuk tetap menjadi daerah langganan banjir.

Yang menjadi  perhatian saya dalam tulisan ini adalah dari ratusan titik banjir bahkan ribuan titik banjir itu Jakarta sudah mengalami kemajuan signifikan. Sekarang tinggal puluhan titik banjir yang harus menunggu ditangani. Kalau membebaskan sama sekali Jakarta dari banjir realistis jelas tidak mungkin. Saya harap Siapapun Paslon Gubernur realistis untuk tidak saling sindir masalah banjir. Jika Menjanjikan Jakarta bebas banjir berarti membodohi rakyat, tapi jika janjinya untuk mengurangi  titik-titik banjir baru realistis. 

Jika ada Paslon yang memberikan mimpi tinggi solusi macam-macam tentang Jakarta harus dipikirkan benar logikanya, jika hanya janji mengawang-awang saya harap masyarakat DKI dengan cerdas melihat, mencermati dan kemudian menentukan gubernur pilihan yang mampu  mewujudkan Jakarta yang siap berbenah, tidak lagi bersempit-sempit dengan suasana kehidupan tidak sehat di bantaran kali, tidak berusaha juga memaksakan diri tinggal di Jakarta jika maunya enak-enakkan hidup dari bantuan pemerintah, dan mengharapkan  Paslon mewujudkan impian warga yang hidup dalam kemudahan, diberi insentif langsung untuk usah, diberi kesempatan untuk mengambil perumahan dengan DP =0% . 

Jika ada calon Gubernur menjanjikan perumahan di Jakarta patut dilihat modusnya apakah cuma pencitraan, atau memang sebuah ketulusan. Logikanya di mana lagi ada tanah murah di Jakarta. Jakarta hanya bisa dibangun dengan konsep vertikal. Nah rumah susun itu yang realistis, atau apartemen istilah kerennya untuk kalangan menengah ke atas. Jika mau tanah murah  atau rumah murah mau tidak mau harus tinggal di luar luar Jakarta di daerah penyangga seperti Bogor, Banten, Bekasi.

Banjir di Pedongkelan Cengkareng Januari 2013, sekarang tidak muncul lagi(dokumen pribadi)
Banjir di Pedongkelan Cengkareng Januari 2013, sekarang tidak muncul lagi(dokumen pribadi)
Karena tanah di Jakarta mahal mau tidak mau rakyat Jakarta harus dikenalkan dengan kultur perumahan vertikal, yaitu rumah susun.Siapa  calon gubernur yang punya pemikiran realistis dan siapa Gubernur yang yang hanya menjanjikan mimpi manis. Serahkan saja pada warga DKI yang sudah cerdas. Jika anda salah pilih akan menyesal  tujuh turunan. Bukan  karena masalah  intervensi politik mengatasnamakan agama, dan desakan ormas-ormas tertentu berbasis  radikal. Memilih pemimpin daerah bukanlah memilih imam atau pemimpin umat. Jakarta dengan segala kompleksitas permasalahannya harus mendapatkan gubernur yang bekerja, mengeksekusi sejumlah permasalahan dan mampu menolak desakan segelintir orang yang berusaha  mengambil keuntungan politik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun