Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Pelarangan Ibadah di Hari Raya

29 Desember 2022   13:05 Diperbarui: 29 Desember 2022   13:11 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Peristiwa pelarangan Ibadah Natal Cilebut  yang kemudian berakhir damai.sumber:Kompas.com

Hari Natal sudah beberapa hari berlalu. Umat Kristiani masih merayakan di rumah dan melakukan perayaan di lingkungan masing-masing. Sebagian bisa merayakan dengan bebas tanpa hambatan sebab lingkungan sekitar mendukung, namun sangat disayangkan ada beberapa daerah yang melarang perayaan Natal, terutama ketika ibadat dilakukan di luar gereja yang menjadi tempat ibadat.

Apa Pemicu Pelarangan Ibadah?

Padahal umat Kristen ingin merayakan Natal yang hanya berlangsung 1 tahun sekali, tetapi terbentur minimnya tempat dan ketiadaan gereja di sebuah daerah hingga mereka menyewa aula atau ruko untuk melakukan peribadatan. Namun ternyata ada beberapa oknum masyarakat merasa keberatan dengan adanya ibadat tersebut. Di beberapa tayangan di YouTube viral terlihat pertengkaran terjadi dari pihak pendemo, atau mereka yang keberatan adanya ibadat Natal dan jemaat yang tengah merayakan hari Kelahiran Tuhan Yesus tersebut. Mengapa bisa terjadi?

Tidak semua umat non kristiani terutama umat mayoritas membatasi ibadat yang hanya setahun sekali. Banyak faktor terutama karena provokasi yang dilakukan pemuka agama yang menganggap bahwa ibadat agama lain mengganggu kenyamanan. Dan mereka berpandangan bahwa ibadat hanya dilakukan di tempat resmi. Kalau di Islam ya di masjid atau di mushola, Kristen dan Katolik di gereja. Budha Di Vihara, Hindu di Pura, Kong Hu Chu di Klenteng.

Kalau dilakukan di luar tempat ibadat berarti melanggar ketentuan umum dan dapat dibubarkan. Keyakinan itu yang membuat mereka membubarkan ibadat yang tengah berlangsung seperti di Cilebut, Di Maja dan di beberapa tempat lainnya. Di Maja Bupatinya Hj Iti menyarankan umat Kristiani merayakan Natal di daerah  Rangkas Bitung. Padahal umat Kristiani di Maja banyak yang ingin merayakan Natal yang hanya 1 tahun sekali di daerahnya.

Ini memunculkan konflik dan banyak pihak menyayangkan mengapa masih ada oknum atau pejabat yang melarang ibadat umat agama lain selain mayoritas. Masih ada ketakutan akan pengaruh ibadat terhadap relasi kehidupan bermasyarakat. Toh sebetulnya tidak ada yang dirugikan kecuali mereka yang berpikiran sempit dan fanatis.

Presiden Dan Pemimpin Memberi Contoh Toleransi

Hak sama warga negara untuk beribadat terutama di negara yang berdasarkan Pancasila. Presiden sendiri sempat berkunjung ke beberapa gereja di Bogor, yang penulis lihat sambutan di Gereja Katedral umat Katolik di sana luar biasa. Ini momentum langka Presiden mengunjungi gereja dan mengucapkan selamat Natal pada umat di Katedral Bogor. Di Jakarta Barat Malam Natal juga di datangi oleh wali kota dan mereka  menjamin ibadat berlangsung aman dan lancar dengan jajaran keamanan yang ketat oleh aparat keamanan, ulama, pemuka agama, Pemuda Pancasila dan Banser dan ormas lainnya.

Terjadinya pelarangan ibadat membuat kekhawatiran relasi antar agama renggang. Namun penulis masih yakin Indonesia masih aman dengan gesekan antar agama. Masih lebih banyak mereka yang menghargai perbedaan, toleran terhadap hak beribadah masing=masing orang. Hanya sebagian oknum dan juga daerah tertentu tampaknya masih membatasi ruang gerak ibadah agama minoritas. 

Tercatat beberapa daerah yang mempunyai peraturan ketat hingga sering muncul bentrokan antar agama antara lain di Sumatra Barat, Aceh, Depok, Sebagian kecil Bogor. Semoga saja pemerintah daerah sadar untuk kembali meresapi makna keberbedaan, keragaman kepercayaan, budaya, agama sehingga memunculkan harmoni antar umat beragama dan antar suku bangsa sehingga tidak ada friksi, tidak ada benturan, tidak ada perdebatan yang mengarahkan pada perpecahan bangsa.

Umat Kristiani sendiri sebagai minoritas juga harus legowo, atau mampu menyesuaikan diri terhadap peraturan daerah dan tidak memaksakan diri jika lingkungan sekitar masih belum bisa menerima bila ada ibadat tidak resmi selain di gereja atau tempat ibadat. Ada sebagian masyarakat resah dengan hingar bingar peribadatan, dan merasa terganggu dengan kerumunan. Kalau masyarakat dan aparat pemerintah masih keukeuh sebaiknya mengalah dan mencari gereja yang bisa menampung peribadatan mereka.

Pelan-pelan tanpa kekerasan melakukan sosialisasi bahwa mereka perlu tempat untuk ibadat, tanpa diganggu oleh pelarangan-pelarangan beribadah. Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia apapun kepercayaan seharusnya dilindungi, tapi kalau di sebuah daerah belum bisa menerima hendaknya umat sabar dan terus berdoa agar muncul kebijakan baru yang memberi kesempatan mereka beribadat, toh ibadat itu tidak dilakukan sepanjang hari hingga mengganggu ketertiban masyarakat.

Pemerintah sendiri harusnya kompak, menegakkan aturan bagaimana umat agama di seluruh Indonesia bisa dengan nyaman melakukan perayaan agama. Sudah ada contoh dari Presiden dan Gubernur, Wali kota dan aparat pemerintah yang melakukan silaturahmi saat ibadat semoga diikuti oleh pejabat lain di seluruh Indonesia.

Pemuka Agama Harus Memberi Contoh Relasi Anta Agama

Pemuka agama di semua agama harus bisa memberi jaminan bahwa perbedaan agama itu wajar. Dan di negara Indonesia yang beragam perlu keteladanan dari ulama, pemuka agama untuk tidak memprovokasi dan membuat renggang hubungan antar agama. Sebab masih saja ada oknum pemuka agama yang sering membahas agama lain, melakukan kajian untuk mencari kekurangan agama lainnya, melakukan provokasi sehingga efeknya ada kebencian dan ketakutan bila melihat peribadatan agama lain.

Jika  ada pemuka agama, pejabat yang masih mempunyai pandangan sempit terhadap relasi antar agama, masih menaruh kecurigaan, masih takut bekerja sama dengan agama lain, fanatisme sempit maka kemajuan Indonesia akan terhambat. Agama, kepercayaan adalah wilayah privat. Tanggungjawab manusia pada penciptanya. Masalah cara beribadat itu diserahkan pada pribadi masing-masing.

Di Kristiani ajaran cinta kasih. Mencintai dan menyayangi sesama manusia tanpa memandang agama, keyakinan, suku dan perbedaan lainnya. Dalam ajaran Islam ada perkataan Lakum dinukum waliyadin untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.

Dalam hal beribadah prinsip tentang kepercayaan itu kuat sebagai benteng iman namun dalam relasi sosial maka perlu relasi lebih luwes tanpa memandang agama dan keyakinan. Semua agama sebenarnya mirip, namun dalam praktiknya banyak oknum yang masih melakukan tindakan fanatis yang mengganggu  relasi sosial antar agama. Padahal, semakin kuat agamanya ia pasti tidak akan takut  pengaruh lainnya karena  sudah mempunyai benteng kuat, namun karena ada pengaruh kuat dari pemuka agama membuat mereka merasa perlu menjauh dan menghindari pergaulan antar umat beragama.

Semoga saja Indonesia semakin berbenah dan semakin maju, mampu membedakan pula mana kepentingan pribadi dan juga relasi sosial kemasyarakatan. Mungkin tulisan penulis ini sebagian masih sebatas teori, sementara praktik untuk membangun relasi yang harmonis antar agama sendiri masih bolong-bolong.

Refleksi Diri dan Harapan Di Tahun Mendatang

Ini sekaligus refleksi bagi diri sendiri untuk melakukan perbuatan nyata, membangun komunikasi indah antar umat beragama. Dengan demikian pelan-pelan semakin langka terdengar berita-berita tentang pelarangan ibadah yang muncul dalam pemberitaan. Semoga di tahun mendatang tidak lagi mendengar bentrokan antar umat beragama, saling menghormati saat ada ibadah apapun agamanya. Salam Damai Selalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun