Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Natal Tiba, Bukan Kemewahan Namun Kesederhanaan

24 Desember 2022   08:48 Diperbarui: 24 Desember 2022   08:55 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar KalderaNews.com

Desember tahun 2022 telah memasuki tanggal-tanggal tua. Banyak manusia melakukan perjalanan jauh. Menikmati liburan Natal dan Tahun Baru. Pelajar sudah mengakhiri semester pertama dengan berbagai pembelajaran, tugas dan ujian. Hasil Ujian semester pertama sudah dibagikan. Umat Kristiani akan segera merayakan Natal di puncaknya tanggal 25. Berbagai asesories natal dan hiasan khasnya terpasang di mal-mal dan di rumah-rumah umat Kristiani. Ada pohon natal, gua natal, dan simbol- simbol warna natal tersebar. Hijau, merah, dan lampu warna-warni.

Sudah berabad-abad Natal dirayakan di seluruh dunia. Semua orang menyambut kelahiran Yesus di kandang domba dan seminggu setelahnya merayakan pergantian tahun baru masehi. Dunia merayakan suka cita, menyambut kelahiran Yesus Kristus, padahal Natal yang sebenarnya bermakna kesederhanaan.

Yesus tidak datang dengan simbol kemewahan, ia bahkan datang dan lahir dengan kemiskinan, yang hanya berbalut kain lampin ditemani lampu penerang sederhana, kasur jerami dalam suasana sepi, yang mungkin hanya ditemani suara domba, dan sejumlah bisik-bisik gembala.

Yesus, lahir dari seorang perempuan perawan yang dipilih Tuhan untuk melahirkan putranya, bersuamikan Yusuf tukang kayu yang sangat sabar.Kesederhanaan Yesus kadang dimaknai berlebihan. Dirayakan  gegap gempita dengan mewah, gereja-gereja dihias glamour, Hampir satu bulan banyak orang merayakannya dengan mengeluarkan biaya dekorasi yang luar biasa mahal.

Apakah itu yang diinginkan Tuhan Yesus? Apakah kemewahan itu yang harus dimunculkan setiap kali merayakan Natal dan Tahun Baru. Simbolisasi kesederhanaan rupanya belum banyak dimengerti oleh manusia. Banyak orang memaknai kelahiran dengan sambutan yang sangat meriah, sangat ikonik. Tidak peduli berapa uang yang harus dikeluarkan. Toh untuk merayakan kelahiran Yesus Kristus umat dan jemaat perlu menyambutnya dengan gegap gempita dan suka-cita karena hanya satu kali setahun. Lagu-lagu Natal berkumandang dengan konser yang mewah dan meriah. Suara merdu melengking mengiringi menyambut perayaan Natal.

Sementara banyak manusia tengah berjuang keras untuk bertahan hidup, masih banyak manusia tengah berjuang melawan kemiskinan akibat resesi, akibat anjloknya perekonomian. Selama beberapa tahun ini banyak manusia mengenang orang-orang tercintanya yang dipanggil Tuhan karena terkena wabah Covid-19. Dari Varian awal Covid -19 sampai Delta dan omicron, ribuan bahkan jutaan orang meninggal di seluruh dunia. Makam-makam penuh, duka hampir setiap hari terdengar, tangis pecah dan kesedihan silih berganti datang. Sejak awal 2020 sampai akhir 2022 ini dunia merayakan Natal dengan berbagai cerita pedih, pilu, mengingat saudara-saudara yang harus merasakan pahit getirnya virus. Di saat itu perang pecah di Ukraina dan Rusia. Perekonomian yang belum pulih akibat pandemi semakin diperparah dengan adanya perang.

Ukraina dan Rusia menambah penderitaan dunia, karena banyak orang berharap berakhirnya perang. Rusia termasuk negara kunci bagi stabilnya perekonomian dunia. Ukrainapun diketahui punya ladang gandum dan pusat-pusat medis yang menjadi andalan untuk mengembangkan vaksin. Ditambah China yang sampai akhir 2022 masih berjuang memulihkan ekonomi akibat Covid yang belum juga surut. Berbagai kebijakan pemerintah China menghentikan Covid tidak menuai hasil memuaskan. Bahkan akhir-akhir ini banyak korban meninggal akibat penanganan  pemberlakuan lockdown yang kurang efektif. Vaksin pencegah covid belum 100 persen disuntikkan ke masyarakat, mengakibatkan masyarakat masih rentan terserang virus. Banyak rumah duka, crematorium penuh dengan korban covid yang meninggal.

Beruntung Indonesia bisa melalui cobaan itu dengan menerapkan protokol kesehatan ketat. Di tahun-tahun awal Indonesia termasuk negara dengan korban terbanyak, namun pelan dan pasti penanganan Covid yang masif membuat korban meninggal menyusut drastis. Di saat omicron melanda pergerakan penyakit hadir namun tidak lagi membahayakan nyawa.

Dengan isolasi mandiri dan melakukan isolasi mandiri covid dapat disembuhkan. Bahkan pemerintah berencana menghentikan PPKM setelah Nataru dengan memperhitungkan situasi dan kondisi. Kalau kondusif dilaksanakan, kalau masih berat kemungkinan ditunda. Saat PPKM dicabut ada harapan perekonomian akan bergerak cepat. Berbagai bisnis yang mandeg akibat PPKM bisa bangkit kembali, masyarakat tidak lagi merasa terancam dengan wabah penyakit.

Tetapi masih harus diingat bahwa Indonesia secara geografi  kebanyakan berada di cincin api Pasifik (Ring Of Fre Pasifik). Pergerakan tanah, gempa bumi, banyak gunung Merapi aktif yang bisa sewaktu-waktu melahirkan bencana demi bencana. Terakhir di Cianjur yang menelan banyak korban meninggal. Gempa Cianjur itu menyisakan banyak cerita duka dan cerita intoleransi yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Namun semuanya sudah terlanjur, dan tinggal manusia introspeksi diri untuk kembali merenungi bahwa sesungguhnya derita bencana, kepedihan, kegembiraan itu milik semua orang. Tidak perlu dikait-kaitkan dengan agama. Bantuan yang datang di daerah bencana adalah murni bantuan kemanusiaan, bukan misi khusus agama.

Kadang mereka yang sering diajarkan untuk intoleran dan berujung membenci dan menjauh dari saudara-saudara yang kebetulan berkeyakinan beda menaruh curiga atas niat baik tulus. Bukan salah mereka seutuhnya. Perlu ada pembekalan dari pemuka agama yang memberi khotbah-khotbah sejuk yang bisa menjelaskan arti relasi antar agama, toleransi dan saling menghormati antar pemeluk agama.

Konflik, kebencian, dendam hanya akan melahirkan situasi runyam. Sudah banyak bukti bahwa konflik agama hanya melahirkan kepedihan. Kehancuran bahkan jauh lebih mengerikan dari perang sebenarnya. Banyak pengikut agama fanatis rela melakukan bom bunuh diri dalam upaya menghancurkan orang lain yang tidak tahu menahu misi dari ajaran para pemeluk fanatis, yang tidak siap untuk hidup dalam keragaman. Banyak dari mereka menginginkan keseragaman dan hanya mengaku satu keyakinan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun