Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Perasaan Seorang Ibu dan Anak Lelaki di Perantauan

22 Desember 2022   09:57 Diperbarui: 22 Desember 2022   10:13 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Foto bersama Ibu Dokumen pribadi

Sudah puluhan tahun seorang lelaki tidak lagi bisa berkumpul dengan ibu yang hidup di tanah kelahiran. Lelaki itu tidak lagi sendirian, sudah bersama keluarga dengan anak-anak yang mengandalkan kesigapan lelaki itu untuk terus melahirkan asa agar bisa hidup lebih baik di masa mendatang dengan keluarga utuh yang selalu bersama.

Tetapi ada seorang ibu yang sebetulnya kangen selalu ingin dekat dengan anak-anaknya. Namun ibu itu menyadari bahwa tidak mudah sewaktu-waktu lelaki itu pulang. Sepertinya ibu itu mengerti ada beban dipundak lelaki itu yang harus selalu menjadi penyokong kekuatan. Tidak bisa dengan cepat memutuskan sendiri untuk mondar-mandir pulang ke kampung halaman.

Setumpuk hasrat lelaki itu ingin pulang namun ia mesti berhitung agar kelangsungan kesejahteraan keluarganya jauh menjadi prioritas. Bukannya tidak sayang pada ibunya tetapi tanggungjawab sebagai kepala keluargalah yang menjadi faktor utama mengapa ia tidak bisa dengan mudah pulang sewaktu-waktu.

Ada perasaan pedih, merasa berdosa, merasa rindu atau kangen yang meletup-letup dalam dadanya, ada semacam rasa haru yang menyodok kalbunya. Seakan akan tidak berdaya sebagai anak tidak bisa membahagiakan anak seperti saudaranya yang lain yang bisa sewaktu-waktu datang. Ia perantau, jauh dan mesti berhitung.

Hati nuraninya mengatakan.

"Mengapa kamu harus berhitung, tidakkah kau tahu seperti apa pengorbanan ibu membesarkanmu puluhan tahun lalu, banting tulang, menyisihkan uang dari hasil utang untuk membiayai sekolah sampai kuliah. Bahkan sampai berumah tangga kamu masih dibantu."

"Iya saya tahu, tapi ada dilema yang kutanggung, jika terlalu sering pulang. Sebuah tanggungjawab besar masih kugendong agar segala kebutuhan keluarga juga terpenuhi.

"Kalau berhitung uang dan kebutuhan tidak ada habisnya Bro, kamu yang pintar menyisihkan pendapatan dan waktu efektif agar bisa sering-sering menengok ibumu."

Tidak terasa ada tetesan air mata mengalir, aku diam sendirian dan tidak kuasa menahan sedih, sebab sampai saat ini belum ada balasan setimpal yang membuat ibu bangga.

"Tidak usah dipikirkan terlalu dalam nak, cukup kamu tanggungjawab pada keluargamu, menjadi orang tua yang baik yang mampu membimbing mereka menjadi anak yang berbakti dan tekun itu sudah cukup. Ibumu masih cukup, lebih dari cukup, meskipun tidak lagi bersama bapak karena beliau sudah dipanggil lebih dahulu."

Aku bisa merasakan betapa sepinya malam-malam ibu. Meskipun beliau mengatakan kuat dan masih banyak kegiatan, pasti ada waktu-waktu di mana kangen dan ingin mendapat kesempatan berkumpul bersama anak cucunya. Kangen yang tidak terkatakan meskipun untuk saat ini bisa dilakukan dengan Video Call canggihnya punya  WA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun