Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Klitih, Intoleransi "Noktah" bagi Kota Pelajar dan Budaya Yogyakarta

5 April 2022   09:57 Diperbarui: 5 April 2022   13:10 2053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi kejahatan klitih yang meresahkan masyarakat Yogya. (Kompas.com/Wijaya Kusuma)

Seorang anak bernama Daffa Adziin Albasit (18) tewas. Pelajar SMA Muhammadiyah II, anak seorang anggota DPRD Kebumen menjadi korban dari para remaja Yogyakarta yang suka klitih. Konon katanya menurut penulis, wartawan pemerhati dan tuturan masyarakat Yogyakarta klitih itu singkatan dari keliling golek getih. Berkeliling mencari darah.

Para remaja itu memang sengaja keliling mencari korban, menantang berkelahi atau bahkan lebih sadis bisa membawa gir, celurit, senjata tajam untuk menakut-nakuti pejalan kaki, pengendara motor dengan mengarahkan senjatanya ke korban. 

Banyak yang terluka bahkan sering terdengar tewas akibat babatan senjata tajam seperti celurit/ arit atau gir yang diikat oleh rantai panjang.

Klitih sebagai Bagian dari Remaja yang Krisis Identitas Diri

Klitih menurut kriminolog lebih disebabkan oleh upaya sekelompok remaja yang butuh pengakuan, jati diri, eksistensi diri maupun gengsi.

Anak anggota DPR itu terkena sabetan gir hingga ia terseret motor sekitar 20 meter di Gedongkuning. Tentu saja darah mengucur para remaja yang suka klitih itu segera kabur meninggalkan korban terkapar. Cita-cita mereka tercapai sebab darah segar tumpah di tanah.

Yang aneh sebenarnya kok bisa Yogyakarta yang mempunyai slogan "berhati nyaman" tidak membuat nyaman penghuninya. Peristiwa klitih itu tentunya membuat daftar panjang orang yang merasa galau dan takut datang ke Ngayogyakarta Hadiningrat yang dari dulu terkenal dengan kota seniman dan kota budaya.

Kota budaya kok budayanya katro, nyawa dengan entengnya dilenyapkan oleh anak baru gede yang pikirannya belum komplit, masih mencari mencari jati diri, masih mencari landasan kuat. 

Siapakah mereka para remaja yang senangnya mencari perkara, membuat api dendam pada para korban yang terkena keisengan dan menggeleng-geleng kenapa para pelajar yang diajarkan tepo seliro, sopan santun, karakter yang baik malah mencari jalan salah dengan menjadi teroris bagi kedamaian kota budaya.

"Le, ojo ngono yo, Iki Yogya kota budaya, mesakke nek Yogya sing diarani kota budaya malah remajane brutal. tegan." (Nak, jangan begitu ya. Ini Yogya kota budaya, kasihan kalau Yogya yang dinamai kota budaya malah remajanya brutal, kurang adab)

Malu juga karena konon katanya sebelum peristiwa itu di Malioboro baru saja show doa di pinggir jalan. Sebagai kota religi kok ada ya oknum yang merusak nama dengan budaya klitih. Duh muka para pejabat dan Sultan mau ditaruh di mana hayo.

Penulis bukan tidak tahu Yogyakarta. Sekitar tahun 199o-an selama 9 tahun pernah wira wiri, Magelang--Yogya, pernah ngekos dan beraktivitas belajar (katanya pernah menjadi mapala Mahasiswa paling lama). Pernah tinggal di sekitar Timoho yang daerahnya dekat dengan Tetek Sepur, dekat dengan Mandala Krida, Gayam, dekat dengan stasiun Radio Geronimo, Jalan Timoho, masuk daerah Gondomanan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun