Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Refleksi Natal:Agama Bukan Sumber Konflik dan Pelecehan Seksual

28 Desember 2021   12:41 Diperbarui: 28 Desember 2021   13:22 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkah pembaca bingung mengapa pemimpin agama sering memperlihatkan perilaku bar-bar dan perilaku biadab. Sudah tahu sebagai tokoh agama malah membuat agama menjadi bercitra buruk dan manusia semakin bingung apakah agama sudah banyak mengalami perubahan hingga bukannya dunia semakin damai dan masyarakatnya saling mempraktekkan kasih sayang dan cinta kasih.

Dalam prakteknya agama malah membuat perpecahan antar bangsa. Akibat salah memahami tafsir agama dan memahami agama hanya setengah-setengah banyak manusia  mabuk agama. Agama tidak boleh tersentuh, agama tidak boleh dihina, apalagi pemimpinnya. Jika sering dihujat dan dijelek-jelekkan maka akan muncul istilah kriminalisasi ulama, atau  kriminalisasi pemimpin agama.

Mengapa manusia malah jauh lebih sensitif ketika beragama, sebentar-sebentar marah, sebentar- sebentar mengutuk orang lain, dan kadang ganas bertindak keras tanpa nurani. Padahal ketika manusia berdoa ia akan masuk ke relung jiwa, mencoba mengerti tentang arti kebaikan dan saling menghargai antar keyakinan. Akhir-akhir ini keadaan  lebih parah muncul di media massa. Para netizen  brutal dalam mengungkapkan bahasa dalam kolom komentar atau di statusnya, padahal mereka mempunyai agama. Seenaknya  menjelek-jelekkan agama lain dengan kata-kata yang jauh dari layak sebagai penganut agama taat.

Pada kasus lain, banyak pengajar agama  membuat masa depan siswanya suram dengan menghamili dan melecehkan perempuan. Apakah agama hanya dipahami secara hapalan saja, bisa menyebut detail ayat serta dalil-dalil agama, tetapi tidak bisa mempraktekkan cinta kasih.

Banyak manusia menjadi kerdil pikiran karena semakin maju teknologi semakin lupa pada rutinitas, berdoa, lebih suntuk berselancar lewat internet. Lalu bagaimana manusia bisa tercerahkan kalau pemahaman agama saja sering disalahartikan. Bisa saja seseorang berkhotbah berkobar-kobar dan hapal dengan bunyi atau lafal ayatnya, tetapi mereka hanya sempat membaca dan menghapal tapi lupa mengimplementasikan.

Seharusnya semakin tinggi dan dalam pemahaman agama, semakin teduh dan damai perilaku dan sikapnya kepada orang lain. Yang jelas bukan semakin eksklusif dan memandang pemeluk agama lain adalah musuh yang harus disingkirkan. Fenomena kekerasan atas nama agama dan pembenaran perilaku menyimpang terus berlanjut. Padahal dalam tutur katanya tampak manis dan mendayu sehingga korban pemerkosaan tidak kuasa menolak karena disamping takut mereka juga sudah diprospek bahwa tidak ada yang salah jika agama mengijinkan.

Pelecehan seksual oleh guru agama (kompas.com)
Pelecehan seksual oleh guru agama (kompas.com)

 Wah itu alasan oknum pengajar agama saja yang pintar dalam berkata- kata sehingga korban seakan pasrah tidak berdaya"dikerjai" oleh gurunya. Malah ada yang sudah melahirkan dua kali. Itu terpaksa atau akhirnya doyan?

Di tahun-tahun belakangan ini terutama di tahun 2021 peristiwa pelecehan agama disebabkan oleh ulah para pengajar agama semakin sering terdengar. Mereka sebetulnya yang menista agama, sebab agama seperti dijadikan alat legal untuk memaksa para perempuan/ muridnya untuk menuruti libido mereka.

Pelakunya bukan hanya satu, berita tentang pelecehan tersebut cukup banyak, maka kadang bingung dengan pemahaman manusia tentang agamanya. Padahal seperti yang penulis selalu berulangkali menulis, bukan ajaran agamanya yang salah, tetapi manusia yang menafsirkan ajaran agamanya yang sering menyalahgunakan.

Hal lain yang tidak kalah urgen adalah terorisme yang selalu mengancam setiap saat. Kebanyakan pemicunya adalah pemahaman keliru ajaran agama. Ada ayat atau ajaran agama yang ditafsirkan berbeda. Dari salah satu ayat dipahami bahwa boleh saja membunuh, atau membasmi yang berlainan keyakinan atas nama agama. Entah, kenapa bisa dipahami sebegitu parahnya. Terbukti banyak negara-negara yang ideologinya berdasarkan agama malah seringkali terjebak dalam perbedaan pandangan hingga terjadi perang saudara, akhirnya negaranya hancur karena pertikaian yang tidak kunjung usai.

Kekerasan atas nama agama itu sudah berlangsung berabad- abad, tetapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda berakhir. Agama disamping memberi rasa damai di hati, memberi kesejukan saat melakukan kontemplasi, meditasi dan ritual doa, namun di sisi lain selalu muncul kecemasan kalau terjadi aksi kekerasan yang berlatar belakang agama.

Permenungan ini katakanlah refleksi di penghujung tahun 2021 dan menyambut tahun baru 2022  semoga ada yang mendengar dan membaca. Berharap ada perbaikan. Munculnya pemahaman tentang toleransi, perbaikan relasi hubungan antar agama, saling menghargai dan saling respek itu adalah sebuah angan dan keyakinan. Setiap manusia mempunyai pilihan. Keyakinan boleh beda namun setiap manusia tetap saling menjalin komunikasi tanpa menajamkan perbedaan pandangan tentang agama.

Manusia hakikatnya adalah makhluk paling berharga, makhluk yang segambar dengan Allah. Kecerdasan manusiapun di atas makhluk lainnya. Namun seringkali "saking'pintar dan berakalnya malah digunakan untuk menipu, memprovokasi, menggiring untuk mengajar agama atau keyakinan dengan jalan kekerasan yang seharusnya dilarang agama.

Masih dalam suasana Natal, selamat Natal Umat Kristiani di Indonesia dan seluruh dunia, saatnya berbenah agar ajaran agama bukan untuk menebarkan teror hanya karena beda agama. Semoga agama-agama dunia semakin menyadari bahwa kebaikan  selalu memberi ketenangan, beda kalau dalam sepanjang waktu selalu diliputi kebencian dan perasaan cemas pada orang-orang yang kebetulan beda keyakinan. Agama bukan sumber konflik, seharusnya, agama adalah peluruh dendam dan kebencian. Agama mengajarkan untuk saling memaafkan ketika muncul kesalahan.

Agama bukan mengajarkan bagaimana merakit bom dan meletakkan di tempat kerumunan serta acara besar manusia terutama saat ibadat. Agamapun  tidak pernah menganjurkan bunuh diri untuk menghancurkan dan memporakporandakan ritual agama lain. Agama membenci pemerkosaan dan pemaksaan kehendak.

Agama memang boleh keras saat menegakkan kebenaran mutlak, tetapi agama tidak pernah menghalalkan penghilangan nyawa hanya karena perbedaan keyakinan. Jika ada yang berani melakukan tindak kekerasan pemuka agama boleh menegur keras. Masih banyak manusia yang rindu khotbah yang sejuk dan mencerahkan.Kalau ada sementara pengajar agama dengan garang menantang-nantang orang lain, penulis tidak tahu, ia sedang sadar atau sengaja memprovokasi pengikutnya agar mengikuti apapun saran dan kata-kata pemimpin agamanya.

Jadi semoga saja di tahun 2022 kekerasan atas nama agama jauh berkurang, orang-orang mengerti betul apa yang dimaksud nilai-nilai cinta kasih. Penulis yakin setiap agama mempunyai ajaran inti tentang bagaimana membuat manusia selalu bisa merasakan kedamaian meskipun dalam lingkaran kegelapan sekalipun. Damai di bumi damai di hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun