Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Takdir Anies Baswedan, Gubernur Terakhir Ibu Kota Negara?

29 Agustus 2019   09:25 Diperbarui: 29 Agustus 2019   09:33 1674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anies Baswedan Saat Pengumuman Ibu Kota Negara Pindah Ke Kalimantan (jakarta.tribunnews.com)

Anies itu  orang pintar yang salah tempat, Ia pintar berbicara, mengemukakan gagasan, ide -- ide, namun sepertinya ia sebenarnya berada di tempat nyaman, sebuah kursi rektor, atau di dinginnya AC di ruang sidang perwakilan rakyat.

Ia pandai berpidato menggagas visi kerakyatan, mencoba merasakan penderitaan rakyat, mengatasnamakan masyarakat, tetapi masyarakat sendiri bingung apa sih gagasannya yang kongkrit. 

Boleh jadi Gubernur Jakarta itu memang mempunyai takdir menjadi gubernur Jakarta, tetapi dihantarkan dari tragedi politik identitas dan tragedi politik hoaks dan sentimen keagamaan yang akan tercatat sepanjang masa. 

Jakarta yang sekarang ini masih ibu kota negara, seakan menjauh dengan selalu ogah berpeluk erat dengan kepala pemerintah pusat. Sebuah gagasan, gengsi dan kesombongan intelektual telah menjauhkan Jakarta pada ruhnya. 

Jakarta berbeban berat ditambah lagi Pemimpinnya terlalu sering menyindir dan menyimpang dari kebijakan pusat. Maka Jakarta yang berbeban berat ini sudah saatnya diringankan.

Anies Baswedan diberi kesempatan untuk mengurangi beban Jakarta. Jakarta sudah sesak penuh dengan masalah, penuh dengan gagasan dan ide- ide yang mengawang- awang. 

Maka sebaiknya ibu kota negaralah yang mengalah, biar Anies bisa tenang bisa mengembangkan sebagai kota bisnis, atau kalau perlu kota bersyariah atau kota yang dipusatkan sebagai ajang ormas- ormas agama bebas merayakan pesta demokrasinya di monas.

Biarkan ibu kota pindah ke Kalimantan meskipun resikonya terhadap dampak lingkungan pasti ada, ada yang khawatir akan hilangnya paru- paru dunia, ada yang berkomentar presidennya amatiran karena ngotot memindahkan ibu kota ke Kalimantan. 

Sebagai pemimpin mendengar itu penting tetapi tidak semua perlu didengar. Jutaan orang atau bahkan milyaran orang mempunyai pikiran yang berbeda, tidak akan pernah sama persis, kalau ada gagasan ditolak dan dinyirin "ndak apa -- apa".

Pun sama seperti yang di alami Anies Baswedan tidak perlu mendengar masyarakat yang sering membulinya sebagai pemimpin yang hanya mengandalkan gagasan.

Barangkali para penulis di Kompasiana sendiri akan memahami bahwa intelektual, penggagas itu kadang bukanlah eksekutor yang baik. Maka ia perlu seorang pendamping dengan tipe eksekutor biar imbang. 

Masalahnya ia memimpin Jakarta Lonely dan ia merasa tidak perlu studi banding apalagi ke levelnya lebih rendah misalnya wali kota Surabaya untuk membangun ibu kota. Kelasnya ibu kota Amerika atau kota- kota lainnya di dunia sambil memanfaatkan fasilitas negara tentunya. Nah namanya pejabat ya mumpunglah. 

Ada fasilitas kenapa tidak dimanfaatkan. Tidak peduli sindiran presiden untuk menghemat anggaran hanya untuk studi banding ke luar negeri, toh bisa membalasnya dengan pemimpin kok kemampuan cas- cis cus berbahasa asing rendah.

Anies memang ditakdirkan menempuh perjalanan penuh liku, ikut menjadi tim sukses, naik level menjadi mentri, diturunkan ditengah perjalanan karena "konon" kinerjanya mengecewakan, lalu tiba- tiba takdir politik mengantarkannya menjadi kandidat gubernur Jakarta yang diusung oleh Gerindra dan Partai- partai berbasis agama, lalu dengan gerakan massa PA 212 menjadi titik balik kesuksesannya sebagai gubernur. 

Dan karena kontestasi politik lagi pasangannya mundur untuk maju kemudian kalah. Anies masih sendirian memimpin Jakarta, ia masih nyaman pergi luar negeri meski tidak ada wakil gubernur, masih banyak gagasan untuk Jakarta yang masyarakat sendiri bingung apa maksudnya.

Suatu saat ketika Jakarta sudah tidak menjadi ibu kota Jakarta mungkin merasa betapa brilyannya ide- ide Bapak Anies Baswedan. Bayangkan batu bronjong saja bisa sejajar dengan menjadi teman patung selamat datang di Bundaran HI. Begitu banyak seniman dengan kemampuan di atas- atas rata- rata ia memilih orang yang mungkin tidak dikenal yang bisa menelorkan ide gabion atau batu bronjong. 

Saya yang kebetulan pernah kuliah di seni rupa mungkin akan mendapat anugerah jika tiba- tiba nanti seorang pejabat pemprov untuk bikin karya instalasi di dekat Bundaran HI, Setelah batu bronjong apa ya mungkin Monas layang, instalasi Goodby Jakarta dengan media tanah liat atau tanah- tanah gusuran.Ya karena saya seniman amatiran dapat job jutaan ya saya maksimalkan. Hehehe.

Banyak yang nyinyir dengan ide seorang pemimpin, Menjadi sombong karena pernah sekolah tinggi -- tinggi di luar negeri itu penting, tetapi melecehkan tukang kayu karena kemampuan bahasanya yang kata orang"hancur" dengan medok Jawa yang luar biasa. Memangnya kenapa? Apa harus seorang pemimpin seperti presiden harus bisa lancar canggih dengan cas cis cus berbahasa asing. Yang penting gagasan tersampaikan, kinerja maksimal dan gagasannya menjadi nyata.

Anies memang menjadi bagian dari dinamika Jakarta. Kebetulan selalu didalam bayang- bayang Ahok (BTP) dan Joko Widodo, gubernur sebelumnya yang begitu diingat orang- orang Jakarta. 

Anies adalah takdir Jakarta yang harus diterima agar masyarakat Jakarta terbiasa dengan perubahan. Meskipun kepada gubernur sebelumnya Jakarta seperti menjadi ancaman besar negara- negara tetangga karena diperkirakan akan bisa menggusur magnet kota seperti di Singapura, Malaysia dan negara- negara lainnya. 

Jakarta sekarang lebih tenang karena lebih suntuk berdoa, lebih suntuk berada di ruang- ruang gagasan, meskipun kenyataannya semakin semrawut dan semakin padat oleh tuntutan hidup kaum urban yang semakin berat.

Kota bisnis dan pusat pemerintahan ini mau diringankan cukup menjadi kota bisnis saja. Ibu kota negara sudah diketok palu pindah ke Kalimantan. Dan Anies bisa jadi akan di kenang sebagai gubernur terakhir dengan statusnya sebagai ibu kota negara(Kalau terpilih lagi di 2022). Takdir sudah ditentukan tidak bisa menghindar. 

Perubahan itu perlu dan setiap orang pasti mempunyai reaksi sendiri terhadap setiap gagasan baru. Yang visoner memandang perlu dan memaklumi, yang agak lemot cenderung menolak gagasan karena khawatir dengan resiko- resikonya, yang selalu kontra akan mati- matian menolak seraya melontarkan makian serta nyinyiran.

Sumonggo, dalam rumah tanggapun selalu ada percik- percik kecil permasalahan, karena setiap kepala mempunyai pendirian masing- masing, apalagi negara dengan ratusan juta rakyatnya. Kalau ada berseliweran pro kontra itu resiko. Salam Damai Selalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun