Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memotret Fenomena Hari Ini Versi Pegrafis Muchlis Lugis

13 Februari 2018   09:49 Diperbarui: 13 Februari 2018   10:50 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Addictif Karya Grafis M. Muchlis Lugis (dokpri dari katalog pameran Ke mana harga diri)

Pameran Pemenang Ketiga Trienale Seni Gravis V

Seni grafis itu seni cetak yang sudah hadir ribuan abad lalu. Daratan China salah satu pelopor seni cetak grafis tersebut. Ada Litografis, Lino, cetak dalam, cetak tinggi, cetak saring atau sablon, cetak foto kamar gelap yang menjadi pelopor dunia fotografi. Dengan pengetahuan cetak-mencetak itu sebagai dasar untuk melakukan penggadaan manuskrip sejarah, tulisan-tulisan ilmu pengetahuan dan berbagai gambar-gambar yang bisa digandakan ratusan kali dengan dibuatnya master awal. 

Seni grafis atau seni cetak-mencetak sudah ada sejak seni lukis belum seterkenal sekarang. Tapi seni grafis cetak tinggi seperti halnya pameran di Bentara Budaya dari tanggal 6-13 Februari 2018 itu seperti meniti jalan sepi. Tidak banyak seniman yang memilih seni grafis yang dilakukan dengan mencungkil kayu seperti harboard yang diukir sehingga menghasilkan goresan seperti Muchlis Lugis, pria Makassar pemenang ketiga Trienal Seni Grafis Indonesia V 2015. Ia pemenang ketiga setelah Jayanta Naskar dari India sebagai juara pertama dan Puritip Suriyapatarapun asal Thailand sebagai pemenang kedua.

Seni cetak tinggi (relief print making) dimulai dari penghujung abad I Masehi. Melihat prinsip  cetaknya sebetulnya sederhana. Bagian yang tidak ingin tercetak harus digores dengan menggunakan cutter atau pisau cungkil. Mula-mula Muchlis menggores-gores kayu menggunakan cutter, setelah kuliah di Yogyakarta ia mulai menemukan alat mencungkil khusus yang bisa lebih gampang mengukir karena ada berbagai sudut runcing yang didesain segitiga, melengkung dan berujung tajam. 

Hal ini untuk mendapatkan karya cetakan yang unik dan beragam. Setelah goresan di lino atau di harboard selesai lalu dilabur dengan cat khusus grafis. Harboard yang dilabur hitam dan masih basah tersebut kemudian di cetak di kertas tebal. Untuk mendapatkan cetakan sempurna biasanya kemudian kertas bagian belakang di gosok. Bisa dengan cendok makan atau benda lain yang bisa mendorong cetakan tercetak sempurna di kertas. Pencetakan bisa diulang-ulang sampai mendapatkan karya sempurna.

Grandmother Dokumen pribadi)
Grandmother Dokumen pribadi)
Itu teknik sederhana seni cetak-mencetak. Jika ingin mencetak dengan lebih satu warna tentu membutuhkan teknik dan perencanaan matang tahap demi tahap supaya cetakan sesuai yang diinginkan pegrafis. Butuh latihan dan latihan supaya bisa menemukan rumus mencampuran warna sesuai yang dimaui seniman. Grafis  cetak tinggi adalah teknik manual yang mendasari seni cetak zaman sekarang yang sudah canggih dengan mesin cetak super canggih.

Seni cetak tinggi biasanya digunakan sebagai ilustrasi buku atau sebagai dasar seni komik. Di ilustrasi cerpen beberapa tahun lampau masih sering terlihat seni grafis ini digunakan sebagai gambar pelengkap untuk ilustrasi seperti di Kompas dan koran-koran nasional lain. Eropa mengembangkannya sekitar tahun 1400-an. Sementara di Jepang mulai berkembang sejak abad XVII pada zaman Edo. Istilah seni cetak tinggi di Jepang disebut Moku Hanga. Beda seni cetak antara dua negara tersebut adalah di Eropa tinta grafis yang digunakan berbasis minyak sedangkan Jepang menggunakan tinta berbasis air.

Manusia Pecandu Gawai

Pegrafis Indonesia yang terkenal adalah Suromo, Mochtar Apin dan Baharudin Marasutan. Sebagai juri, Trienal Aminuddin TH Siregar melihat karya Muchlis Lugis itu sebetulnya sederhana, Muchlis hanya jeli dan peka mengolah isu yang aktual untuk dijadikan ide grafisnya. Ia melihat ada masalah di masyarakat kita hari ini. 

Penulis sendiri tertarik dengan karya Addiction di mana karya itu menggambarkan seseorang sedang memegang smartphone atau telepon genggam dan terkenal dengan istilah gawai. Sebegitu candunya sampai keseluruhan perhatian wajah yang diganti tangan  terlalu tergantung pada smartphone yang seakan menjadi sesembahan baru abad modern sekarang ini. Ini kritik yang aktual dan dikemas dengan karya seni grafis yang subtil dan amat tepat menggambarkan suasana hari-hari ini. 

Gambar lainnya seperti Grandmather, GrandFather menampakkan bahwa detail karya begitu diutamakan sehingga menghasilkan karya cukil yang memikat. Jadi pantas karyanya mendapatkan hadiah sebagai pemenang Trienale.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun