Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tatapan yang Menghujam Kalbu

31 Agustus 2016   15:30 Diperbarui: 31 Agustus 2016   15:59 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar:Twitter.com

Mata elang itu menghujam jauh dalam lubuk hatiku. Sinarnya seperti mengobok-obok isi jiwa. Segera kepalaku merunduk tidak berani menatap langsung mata yang bercahaya kemilau tersebut. Entah mata itu telah menikam hatiku hingga bayangan-bayangan wajahnya selalu hadir dalam setiap nafasku. Di mana-mana aku merasa ada mata yang mengikuti, seperti bayang-bayang yang selalu mengikuti ke manapun aku bergerak, kecuali dalam kekelaman malam dmana tidak ada cahaya yang menjemur tubuh ini. Tapi dalam kegelapan malam sosoknya seperti cahaya putih yang menyinari sudut jiwa ini, memberi semangat yang  berkobar-kobar saat aku frustrasi menghadapi cobaan-cobaan hidup yang tak pernah berakhir.

Aku sedang mencari sosok tepat, penasihat spiritual yang mampu membangkitkan gairah hidup yang memudar. Langkah gontai, pikiran yang terus tertikam bayangan-bayangan kelam dan ketakutan-ketakutan akan penyakit yang menyergap, telah menyesap lemak dalam tubuhku, Tubuh yang kekar dulu, kini telah menyusut, mata yang tajam kala menatap semakin kuyu oleh pengandaian-pengandaian yang menakutkan.

Ke mana sosok tepat yang bisa memberi jawaban atas lamunan-lamunan dan atas kayalan-kayalan yang tidak pernah ada. Dan Mata elang itu hadir bagai pahlawan di tengah keringnya dahaga jiwa atas  sosok yang memberi kenyamanan. Aku sudah beribu kali berusaha mengeluarkan bayangan kelam yang selalu muncul saat ada cerita-cerita sedih di sekitarku. Saat mendengar cerita tentang pemerkosaan segera otak ini berputar seperti tengah memutar cerita tragis dari derita korban pemerkosaan, akhirnya tubuhku seperti merasa dingin, menggigil dan kesakitan saat membayangkan pemerkosaan terjadi. Begitu juga saat mendengar peristiwa kematian. Bayanganku seperti menelusur sosok-sosok yang tengah sekarat meregang nyawa. 

Aku merindukan mata yang tajam itu yang mampu memberiku rindu, memberiku senyum meski sedikit. Aku lelah menatap mata-mata yang selalu curiga oleh langkah gontaiku dan mata yang tak pernah bergairah. Mereka seperti melihat sosok pesakitan yang tengah terpuruk dalam jurang kesengsaraan, atau kasihan dan memberiku tatapan rasa kasihan atas penderitaan ini. Tetapi mereka tidak menolong, hanya menampakkan sinis yang tergurat dalam picingan mata mereka. Tidak seperti mata elang itu yang mampu merajut luka-luka jiwaku yang menganga. 

Lalu kenapa kau menghilang begitu lama, saat aku mulai jatuh dalam kegelapan dan hanya lorong-lorong gelap tersisa yang tengah kususuri. kau menghilang. Bolehkan aku mulai meracau memanggil-manggil namamu. Tapi harus aku panggil apa sementara aku hanya mampu memanggilmu si mata elang. Apakah kau sosok jauh yang sebenarnya amat dekat, atau kau sebetulnya sudah amat dekat tapi sebenarnya tinggal di tempat yang amat jauh. 

Bolehkah aku berharap akan ada mukzizat datang dengan hadirnya engkau, yang tengah dalam kegalauan. Tapi sepertinya tidak ada lagi harapan yang bisa ku rengkuh, rasanya tidak ada lagi sepenggal rindu yang mampu kureguk, sebab kau telah lenyap ditelan kegelapan. Rasanya seperti pungguk merindukan bulan sebuah harapan yang sia-sia. Kau Sang Mata Elang yang mampu menatap jauh sampai kedalaman kalbu.

Ketika dalam ketersia-siaan itu, aku  tertuntun dalam gua di mana ada sosok wanita lembut dengan wajah ranum dan mata sedikit sayu. Ia hanya patung, tapi mampu memberiku rasa damai, hingga jiwaku tidak lagi mengerang, tidak ingin merasakan derita, tidak ingin menggelar layar film dari kisah-kisah sedih yang terekam dalam sudut jiwa ini. Akupun melafalkan doa yang kuyakini memberiku rasa damai dan nyaman. Semakin rutin berdoa, semakin ku tahu ada mata yang tengah memperhatikanku seksama. Dialog jiwaku adalah tentang kepasrahan dan ketulusan, menerima apapun cobaan hidup. Dan setelah itu mata elang itu selalu rutin menyambangiku saat aku tengah bersuka dalam meresapi beratnya hidup dan cobaan- cobaan yang datang silih berganti.

Mata itu mengurungku

lalu menggiringku dalam lorong remang-remang

seperti bayangan

selalu hadir ketika aku hidup dalam terang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun