Mohon tunggu...
Dwi Argo
Dwi Argo Mohon Tunggu... -

sehari-hari menjadi pencari makna...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ada Rindu di Dadaku

22 Juni 2011   02:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:17 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

ADA RINDU DI DADAKU

Kau tahu, sayang…? satu-satunya kata yang ada di dadaku saat ini adalah rindu.”

Apa lagi yang bisa kubuat selain bergumam? Malam ini telah menelanku bulat-bulat. Setelah hari yang mengunyahku sampai lumat, ketika aku berusaha menahan rindu. Semakin kutahan, semakin menjadi. Seperti bara api yang membakar belantara.

Aku mulai berandai-andai. Bermimpi. Jika saja aku memiliki kuasa atas langit malam ini. Akan kulukis rinduku dalam gugusan bintang. Agar kau yang berada jauh di sana bisa melihatnya juga. Walaupun aku tahu bahwa kau pun tahu perasaanku ini, ingin kuteriakkan rinduku melalui gemuruh halilintar di langit yang cerah tanpa mendung. Jika saja aku memiliki kuasa atas langit malam ini, akan kuputar bumi lebih cepat, agar pagi segera tiba dan hari pun berganti. Agar semakin dekat waktuku dan waktumu untuk berjumpa. Melepas rindu yang sudah memuncak seperti erupsi Merapi yang tak tertahankan lagi.

Apa lagi yang bisa kubuat selain bergumam? Memaki jam pasir di hadapanku yang berdesir. Membuat hatiku makin risau menahan rindu. Pasir yang mengalir butir demi butir, dari lubang kecil bernama waktu. Lalu aku hanyut dikubur pasir waktu, sampai masa yang tak kutahu kapan, namun harus kujelang. Demi rinduku padamu. Bahkan ketika aku mencoba mengusir rinduku dalam lelap, detak detik jarum jam makin menyiksaku, seolah menjadi pengadil berhentinya jantungku karena kehabisan nyawa menantimu. Mataku terpejam memang, namun benakku dipenuhi kegalauan.

Aku kembali berkhayal. Lenganku adalah sayap, dan mataku setajam mata elang. Aku akan terbang menembus pekat malam ini, menjemputmu di langit yang sudah kubangun istana. Istana yang tersusun atas kepingan rindu berbentuk arca dan ukiran kaca. Lalu aku mendudukkanmu di singasana. Namun aku sadar, aku hanya bisa menerbangkan anganku, bukan ragaku.

Malam ini sunyi. Walau hatiku bergemuruh. Aku mengingat – lebih tepatnya teringat – kembali kenangan yang telah kita rajut. Kenangan demi kenangan itu tak hanya memutar kembali rekaman hidup kita, namun sekaligus mereka-reka masa depan yang kita jelang. Masa depan yang kita impikan. Masa depan yang masih samar, namun kita harapkan.

Kau selalu berkata, “Ini adalah saat bagi kita untuk memberi waktu pada sang waktu. Memberi waktu bagi hati kita masing-masing untuk menata diri. Sampai kita benar-benar siap bersama.” Hidup memang terdiri atas kenangan – masa lalu; dan harapan – masa depan. Namun kata-katamu membuatku untuk mau menanggung rinduku yang berat ini. Karena kita hidup di hari ini, untuk saat ini. Agar aku tak terlena menatap masa lalu, pun tak terbuai melihat masa menjelang.

Sayang, aku rela menanggung rindu. Demi aku. Demi kamu. Demi kita,” kata-kata itu spontan meluncur dalam hatiku. “Aku akan berada di sini, memberi waktu kepada kenyataan sebagai pengadil. Aku mau memegang erat harapan ini, sampai saatnya tiba. Aku mau menikmati rindu ini.”

Malam masih mengalun. Diiringi desir jam pasir dan detak jarum jam dinding. Keduanya adalah saksi bisu atas kesaksianku di penghujung hari, ketika malam menatapku, bahkan memelukku. Lalu dengan lega jiwaku berkata, “Kau tahu, sayang…? satu-satunya kata yang ada di dadaku saat ini adalah rindu.”

Semoga malam ini pun memelukmu erat. Dan waktu akan memeluk harapan kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun