Mohon tunggu...
Money Artikel Utama

Ingin Kelola Blok Mahakam? Siapkan Teknologi dan Pendanaan

13 Mei 2015   02:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:06 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://resources.convergeapp.net/ImageStore/ClientSite/6795/Resources/proper%20home%20slider/oil-gas.jpg

Pembahasan isu minyak dan gas bumi itu tak ubahnya seperti membahas perceraian artis yang “rebutan” harta gono-gini, tak akan ada habisnya. Apa pasal? Minyak dan gas bumi ini sangat penting sekali dalam kehidupan kita. Siapa yang menduga, ternyata minyak dan gas ini tidak hanya untuk bahan bakar semata, tapi olahan turunannya bisa menjadi komoditas apa saja: bahan baku dalam pembuatan cat, karpet, ban, kosmetik, bahkan sampai pupuk. Entah siapa yang salah, penemu minyaknya atau penggunanya yang tidak bisa pindah ke lain hati alias memanfaatkan teknologi untuk mengolah bahan pengganti lain (yang jelas bukan Pencipta minyak Yang Maha Esa yang salah).

Itulah mengapa pembahasan minyak dan gas tidak hanya terbatas dari cerocos Mbok Yem yang menjual tempe mendoan depan rumah, tapi juga Pak Idem yang duduk di bangku DPR sana. Jelas kegunaan minyak dan gas bumi yang merupakan “bahan-ajaib-serba-bisa-jadi-apa-saja” itu sangat penting dalam perdagangan tak hanya penjual dan pembeli kecil, tapi juga negara eksportir dan importirnya. Negara-negara penghasil minyak dan gas bumi rata-rata memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari yang lainnya (bandingkan saja Indonesia, Brunei, Malaysia, Vietnam dengan negara ASEAN yang tidak memiliki minyak seperti Kamboja atau Laos).

Berbagai Kilang Pertambangan Minyak (onsiteguardian.com)

Eksplorasi yang Anti Asing?

Begitu krusialnya minyak dan gas bumi di tiap-tiap negara, lalu mengapa minyak dan gas bumi kita banyak “dikuasai” (atau istilah lebih tepatnya adalah banyak di-operator-i) oleh perusahaan minyak asing? Karena teknologi kita belum memadai. Tentu saja, hal itu terjadi di zaman kita sesaat setelah merdeka. Saat masa penjajahan masih berlangsung, beberapa ilmuwan Belanda pun sebenarnya sudah menemukan adanya reserves minyak dan gas bumi di Indonesia. Hal ini tentu saja menarik pengusaha minyak dari negara-negara lain. Itulah saat mereka datang ke pemerintah Indonesia dengan menawarkan untuk menjadi operator. Nah, di sinilah menariknya. Pemerintah pada waktu itu sudah sangat berpikiran ke depan dengan meminta para pengusaha asing itu menandatangani sistem PSC (Production Sharing Contract). Rekan saya yang baik, Priyo Pamungkas, sudah membahasa apa itu PSC di artikel Ekonom Gila yang istilahnya, mirip “buruh tani dan tuan tanah”. Dalam sistem ini, pemerintah adalah tuan tanah dan operator adalah buruh tani. Bedanya, operator di sini juga nanti yang akan membeli bibit, cangkul, dan segala fasilitas lainnya untuk “mencangkul” tanah. Baru setelah ada hasilnya, semua biaya tadi akan diganti oleh pemerintah alias tuan tanah (yang lazim disebut cost recovery) bersama dengan persenan bagi hasil. Positifnya, sistem PSC ini memungkinkan pemerintah untuk mendapatkan transfer knowledge dan kepemilikan fasilitas pada saat kontrak berlangsung sampai selesai.

Lantas, mengapa sih harus asing? Jika melihat data dari British Petroleum, cadangan minyak terbesar dimiliki oleh Venezuela dan Arab Saudi; sedangkan cadangan gas terbesar dimiliki oleh Rusia dan Iran. Mereka semua memanfaatkan perusahaan negara, mengapa kita tidak?

Sederhananya, perusahaan asing inilah yang memiliki teknologi dan uang. (1) Teknologi, berarti bahwa lapisan tanah kita tidak bisa digali segampang Arab Saudi sana yang semuanya pasir lho. Istilahnya, kalau di Arab sana orang gali kubur saja bisa ketemu minyak. Biaya penggalian minyak per barel kita ada di kisaran USD 40, sedangkan di Arab sana hanya USD 4 saja, Saudara-Saudara! (2) Uang atau pendanaan, berarti bahwa di saat itu memang perusahaan asinglah yang memiliki dana. Banyak PSC yang ada di Indonesia ini ditandatangani di tahun 50’an – 70’an loh. Lagipula, dalam beberapa PSC biasanya akan ada lebih dari 1 lapangan; setiap lapangan juga akan memiliki beberapa buah sumur. Jika satu lapangan saja bisa menghabiskan USD 360juta (silakan dikali kurs IDR yang sekarang sudah 13.100 rupiah!!!), bagaimana jika di seluruh Indonesia ini ada lebih dari 100 buah lapangan? Jelas, pemerintah tidak akan sanggup mendanai itu semua. Itulah mengapa perlu menggandeng swasta (dan di masa sekarang swasta ini tidak melulu asing, banyak juga yang pengusaha lokal). Memang, harus kita akui kalau pemerintah tidak mungkin bisa meng-handle semuanya (silakan cek besarnya APBN kita berapa ya, dikurangi biaya 1 field kali sekian field kali 100 lebih PSC!).

Bagan Perhitungan Production Sharing Contract (PSC) Indonesia (ekonomgila.blogspot.com)

Indonesia yang merupakan salah satu dari sangat sedikit negara yang menerapkan PSC, ternyata masih tetap menarik investor untuk dilirik. Jika melihat sistemnya, sebenarnya PSC ini sangat high risk high return. Lihat bagan dalam gambar di samping; hasil akhir untuk gas bagi pemerintah vs operator biasanya adalah 65:35 dan minyak sebesar 85:15. Mari kita aplikasikan dalam Blok Mahakam yang merupakan penghasil gas terbesar di Indonesia. Operator Blok Mahakam akan meminjamkan uangnya untuk pembangunan fasilitas operasi, meminjamkan pengetahuan dan teknologinya, menanggung risiko jika ternyata gagal, dan akhirnya mendapat bagian 35% dari bagi hasil (ingat, segala uang yang digunakan untuk operasi –pembangunan fasilitas sampai gaji semua pegawai - dalam keadaan ideal akan cost recovery semua). Menggiurkan? Jelas! Di mana lagi kita bisa meminjamkan uang ke orang dan mendapat kembalian bagi hasil 35%? Tetapi ya itu, risikonya besar. Bisa jadi uang bertriliun-triliun yang kita pinjamkan itu hilang (non cost recovery jika tidak flowing minyak atau gasnya, alias dry hole).

Apakah Pertamina Siap Mengelola Blok Mahakam?

Pertamina yang sudah teruji dalam meningkatkan produksi Blok Cepu memang patut diacungi jempol. Namun, dalam pengelolaan Blok Mahakam ini bukan hanya Pertamina saja yang harus waspada, tetapi juga pihak-pihak lain. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, dalam pengelolaan minyak dan gas bumi di Indonesia ini harus ada dua hal yang kita tekankan: pendanaan dan teknologi.

  • Pendanaan

Pengelolaan minyak dan gas bumi bukanlah sesuatu yang mudah, diperlukan cadangan kas dan modal kerja yang kuat untuk itu. Pemerintah pusat dan daerah yang saat-saat ini terlihat antusias harus bisa bersikap layaknya investor bisnis; yaitu menahan diri untuk tidak segera mendapat untung. Di bisnis apapun, ada jeda waktu agar bisnis stabil dan akhirnya menghasilkan profit. Dari segi pemerintah pusat, harus ada kebijakan untuk tidak meminta “sumbangan” alias dividen bagi negara untuk beberapa tahun ini dari Pertamina. Begitu juga dengan pemerintah daerah yang memang ingin dilibatkan dengan porsi lebih besar, harus siap untuk mengucurkan dana besar beberapa tahun ini. Walaupun Pertamina hanya meneruskan pemeliharaan, biaya yang diperlukan tidak bisa dipandang sebelah mata. Misalnya, penggantian satu turbine engine yang kira-kira tiga tahun sekali saja bisa mencapai USD 2,4juta! Investasi dalam industri minyak dan gas bumi ini memang tidak bisa instan; payback period-nya bahkan bisa sampai 20 tahun. Untuk itu, kebijakan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk Pertamina dalam mengelola Blok Mahakam harus konsisten dan berlanjut, meskipun nanti pemimpin pemerintahannya telah berganti.

  • Ilmu dan Teknologi

Transfer knowledge yang merupakan salah satu poin penting dari PSC, belum terlalu dimanfaatkan oleh Pemerintah, dalam hal ini lewat SKK Migas. Idealnya, SKK Migas bisa berperan tidak hanya pada penyetujuan pengajuan dana dan pertanggungjawabannya saja, tetapi juga sebagai database pusat dan jembatan bagi antar operator untuk saling mencontoh best practice. Hal ini nantinya akan sangat menguntungkan Pertamina sebagai perusahaan minyak dan gas bumi negara untuk memiliki akses penuh ke database pengetahuan tentang permasalahan teknis dan operasional. Misalnya, cara-cara apa saja yang pernah dilakukan oleh para operator di Indonesia dalam mengatasi kebocoran pipa di dalam laut.

Tentu bukan hanya mimpi jika kelak Petamina bisa seperti Saudi Aramco yang malang melintang menjadi sponsor berbagai Klub Bola Liga Inggris kesayangan di TV. Blok Mahakam yang seperti pisau bermata dua ini, seperti lagu yang sedang populer, mau di bawa ke mana...


Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun