Mohon tunggu...
dwiana Tikada
dwiana Tikada Mohon Tunggu... Pranata Laboratorium Pendidikan Poltekkes Kemenkes Ternate

keseimbangan hidup sehari hari

Selanjutnya

Tutup

Nature

Dari Ternate Untuk Indonesia Menjaga Ekosistem Laut Darat Lewat Aksi Nyata

31 Juli 2025   21:08 Diperbarui: 31 Juli 2025   19:07 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mentari pagi baru saja menyingkap kabut tipis di kaki Gunung Gamalama ketika aroma laut dan tanah basah bercampur menjadi satu di udara Ternate. Pulau kecil di timur Indonesia ini bukan hanya tempat tinggal saya, tapi juga panggung nyata dari kisah keterhubungan antara lanskap darat dan laut yang kini sedang diuji oleh perubahan zaman. Dalam skala kecil, Ternate mencerminkan wajah Indonesia: negeri kepulauan yang kaya akan biodiversitas namun rentan oleh tekanan manusia dan iklim.

Di lereng gunung, hutan-hutan tropis menyimpan cadangan air dan menjadi rumah bagi flora-fauna endemik. Di bawahnya, tanah-tanah dibuka untuk permukiman dan lahan produktif. Sementara itu, hanya beberapa kilometer dari sana, laut menanti limpahan air dan segala muatannya: tanah, sampah, bahkan bahan pencemar. Sedimentasi dari darat merusak terumbu karang, padang lamun kehilangan daya dukung, dan ikan-ikan menjauh dari zona tangkap nelayan.

Kehidupan darat dan laut tidak bisa dipisahkan. Ketika satu rusak, yang lain akan ikut terganggu. Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia, menjadi panggung penting untuk menggali kembali kesadaran ini. Dalam salah satu sesi, Dr. Fitry Pakiding, pakar pengelolaan pesisir dari Universitas Hasanuddin, menyampaikan dengan tegas, "Pesisir dan laut adalah wajah depan dari ekosistem daratan. Maka mengelola laut dimulai dari menjaga daratannya." Kalimat ini sangat menggambarkan konteks daerah saya.

Sebagai ASN di Poltekkes Kemenkes Ternate dengan latar belakang laboratorium medik, saya terbiasa melihat keterkaitan antara lingkungan dan kesehatan masyarakat. Limbah domestik dari darat yang mengalir ke laut membawa serta patogen, mikroplastik, dan nutrien berlebih yang memicu eutrofikasi. Semua itu kembali ke meja makan kita, melalui ikan, udang, atau air yang kita konsumsi. Dalam banyak kasus, pencemaran ini tidak terlihat secara kasat mata, namun dampaknya nyata: meningkatnya kasus diare, penyakit kulit, bahkan gangguan reproduksi akibat logam berat yang terakumulasi dalam tubuh manusia.

Untuk menjawab tantangan tersebut, pendekatan lanskap terpadu menjadi keharusan. Tidak cukup hanya melindungi hutan atau memperluas kawasan konservasi laut. Kita perlu menghubungkan keduanya secara ekologi dan sosial. Pengelolaan lanskap terpadu berarti mempertimbangkan seluruh bentang alam---dari hulu, tengah, hingga hilir---sebagai satu kesatuan sistem.

Di Ternate, konsep ini bisa dimulai dari wilayah hulu---mengidentifikasi titik-titik rawan longsor dan erosi di kaki gunung, mengembalikan vegetasi alami, serta membangun sistem drainase berbasis bioengineering. Di zona tengah, perlu ada edukasi dan regulasi pengelolaan limbah domestik, terutama dari rumah tangga dan industri kecil. Dan di hilir, kawasan pesisir harus menjadi lokasi pemantauan kualitas air laut serta habitat penting seperti mangrove dan terumbu karang. Di sinilah kerja sama lintas sektor menjadi penting: dinas lingkungan hidup, pendidikan, kesehatan, dan perikanan harus duduk bersama.

Masyarakat lokal sebenarnya telah memiliki nilai-nilai pengelolaan lanskap secara terpadu. Di beberapa desa pesisir, dikenal istilah "toma ge nusa" yang berarti hidup dalam keseimbangan dengan tanah dan laut. Filosofi ini bisa menjadi fondasi kuat untuk membangun sistem pengelolaan lanskap berbasis masyarakat.

Contohnya, program larangan menangkap ikan di wilayah tertentu selama musim bertelur, atau larangan membuka lahan di daerah dekat mata air, telah lama diterapkan secara adat. Hanya saja, pendekatan ini belum sepenuhnya diadopsi oleh kebijakan formal. Penguatan kelembagaan adat dan pengakuan terhadap kearifan lokal harus menjadi bagian dari solusi. Dalam konteks ini, peran tokoh adat, guru lokal, dan kelompok perempuan menjadi penting untuk memastikan bahwa praktik tradisional yang ramah lingkungan tetap lestari dan dihargai.

Sebagai tenaga laboratorium pendidikan, saya melihat potensi besar menjadikan laboratorium tidak hanya sebagai tempat analisis sampel, tapi juga pusat edukasi ekologi lanskap. Mahasiswa bisa diajak turun ke lapangan untuk mengambil sampel air dari hulu hingga hilir, lalu menganalisis kandungan coliform, logam berat, dan parameter biotik lainnya.

Melalui praktik tersebut, mereka tidak hanya belajar teknik laboratorium, tetapi juga memahami bahwa setiap tetes air membawa cerita dari gunung ke laut. Mereka bisa menghubungkan antara deforestasi dengan kualitas air minum, atau antara pencemaran laut dengan hasil tangkapan nelayan. Hal ini sekaligus membentuk kesadaran kritis di kalangan generasi muda akan pentingnya ilmu laboratorium dalam mendukung pembangunan berkelanjutan.

Sebagai alternatif dari pendekatan institusional, saya mengusulkan pelaksanaan kampanye edukasi lanskap berbasis komunitas. Kampanye ini dapat diwujudkan dalam bentuk lokakarya rutin, pameran lingkungan, dan kegiatan eksplorasi alam yang melibatkan pelajar, mahasiswa, kelompok nelayan, hingga ibu-ibu rumah tangga.

Melalui kegiatan ini, masyarakat dapat secara langsung mempelajari keterkaitan antara perilaku sehari-hari mereka dengan kondisi lanskap sekitarnya. Misalnya, bagaimana penggunaan deterjen berlebih mempengaruhi biota sungai, atau bagaimana membuang sampah sembarangan berkontribusi pada kerusakan terumbu karang. Edukasi ini akan lebih kuat jika dikemas secara visual dan interaktif, seperti melalui mural lingkungan di ruang publik, video pendek di media sosial, dan lomba inovasi solusi berbasis lokal.

Inovasi Data Komunitas

Kunci keberhasilan pengelolaan lanskap terpadu adalah data. Namun, data seringkali hanya dimiliki oleh instansi dan tidak sampai ke masyarakat. Saya mengusulkan model sistem informasi terbuka berbasis komunitas, di mana warga, pelajar, dan ASN dapat mengunggah dan mengakses data kualitas lingkungan secara berkala.

Melalui aplikasi sederhana, warga bisa mencatat kejadian banjir, pencemaran, atau penemuan spesies baru. Data ini kemudian diverifikasi oleh tenaga ahli dan diolah untuk menjadi dasar perencanaan pembangunan desa berbasis ekologi. Dengan cara ini, masyarakat tidak lagi menjadi objek program, tapi subjek yang memegang kendali informasi dan keputusan.

Ternate hanyalah satu contoh dari ribuan pulau kecil di Indonesia yang menghadapi tantangan serupa. Jika model pengelolaan lanskap terpadu ini berhasil di sini, maka ia bisa direplikasi ke daerah-daerah lain di Maluku Utara, Nusa Tenggara, hingga Papua.

Kekuatan pendekatan ini terletak pada kemampuannya menyatukan ilmu pengetahuan modern dengan kearifan lokal, serta mengintegrasikan kebijakan dari tingkat desa hingga nasional. saya berkomitmen menjadikan pendekatan ini sebagai model praktik baik untuk pengelolaan lanskap berkelanjutan di wilayah kepulauan.

Saya percaya, kekuatan Indonesia bukan terletak pada satu solusi besar dari pusat, tetapi dari ribuan inovasi kecil yang tumbuh dari bawah. Seperti mangrove yang tumbuh di garis antara darat dan laut, solusi kita harus tumbuh dari akar komunitas, dan merambat ke arah kebijakan nasional.

Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia telah membuka ruang kolaborasi antarsektor dan antarwilayah. Melalui pertemuan lintas disiplin ini, kita kembali diingatkan bahwa menjaga lanskap darat tanpa menjaga laut adalah sia-sia, dan sebaliknya.

Ternate mengajarkan saya bahwa harmoni antara darat dan laut bukanlah konsep baru, melainkan warisan yang perlu dirawat. Kini saatnya kita tumbuh di dua dunia itu---darat dan laut---dengan ilmu, kesadaran, dan aksi nyata bersama. Dengan menjadikan pendidikan, partisipasi, dan data sebagai pilar, saya yakin Indonesia bisa memimpin dunia dalam membangun masa depan lanskap yang berkelanjutan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun