Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Ada Kalkulator Bodoh (?)

16 Juli 2014   00:15 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:13 837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1405416693709746536

Kehebohan banyaknya Scan C1 yang termuat dalam website KPU (http://pilpres2014.kpu.go.id) yang patut dipertanyakan kebenaran matematisnya rupanya telah melahirkan artikel berjudul Bangsa Indonesia: Bodoh? (http://edukasi.kompasiana.com/2014/07/14/bangsa-indonesia-bodoh-664276.html) besutan K-ner Thamrin Sonata. Dan judul tulisan saya ini terlintas saat saya membaca artikel tersebut berikut komentar para Kompasianer di bawahnya. Salah satu komentar yang menarik datang dari K-ner Gatot Swandito, sbb: Padahal KPU sudah menyediakan kalkulator, atau jangan2 kalkulatornya yg bodoh.” (14 July 2014 19:59:24), yang lalu dibalas dengan tawa oleh Pak TS, sbb: Kalkulator bodoh? hahaha. Human error, ye hehehe… .” (15 July 2014 09:59:13).

Mungkin Pak TS tertawa oleh ide ‘kalkulator bodoh’ itu, tapi saya pribadi percaya bahwa ‘kalkulator bodoh’ itu ada. Tunggu! Itu bukan sebutan/klaim ataupun penghinaan atas suatu produk lho … tapi hanya untuk pernyataan keheranan saya mendapati bahwa memang ada kalkulator yang menghasilkan hitungan tidak akurat sebagaimana prinsip matematika. Boleh percaya, boleh tidak! Hal itu saya sadari ketika saya duduk di bangku SMA. Ketika itu saya mendapat pinjaman kalkulator dari Kakak saya yang pada body-nya tertulis label “scientific calculator”.



Kalkulator yang dilabeli “scientific calculator” tersebut memiliki fungsi yang relatif sangat kompleks dalam pandangan saya waktu itu. Kalkulator itu bisa digunakan untuk menghitung perkalian berpangkat, logaritma, hitungan trigonometri (sinus-cosinus/tangent-cotangent), membuat grafik dan sebagainya. Pokoknya banyak fungsi lain yang ‘canggih’, begitu istilahnya. Berlawanan dengan “scientific calculator”, adalah kalkulator sederhana yang sering dijuluki “kalkulator cabe” yang saya gunakan sebelum mendapat pinjaman “scientific calculator”. Saya juga tidak tahu dari mana asal istilah “kalkulator cabe” itu pertama kali saya dapat. Yang pasti bukan ide saya lho… swear! Mungkin istilah itu merujuk pada kalkulator yang biasa digunakan penjual cabe di pasar untuk melakukan hitungan transaksi jual-beli cabe, yang tentu saja tidak memerlukan fungsi seperti trigonometri. Begitulah faktanya! Dengan bantuan kalkulator sederhana itu, kita hanya bisa melakukan operasi matematika sederhana.

[caption id="attachment_333784" align="aligncenter" width="598" caption="Scientific calculator & kalkulator biasa (www.harrymartincartoons.com & monumentmasonry.com)"][/caption]

Sejujurnya, pada waktu itu saya sungguh sangat heboh mendapati keajaiban yang bisa saya lakukan dengan bantuan “scientific calculator” itu, hingga tak henti memainkan dan membandingkannya dengan kalkulator biasa saya. Lalu, entah bagaimana atau dari mana ide itu datang, tiba-tiba saya iseng mereka-reka sebuah hitungan. Dari hasil keisengan itu saya pun berniat akan mengisengi teman-teman sekelas yang memakai kalkulator biasa. Berikut kisahnya.

Saya meminjam kalkulator biasa milik teman saya dan lalu mengatakan kepada y.b.s. bahwa kalkulatornya itu rusak atau tidak akurat. Tentu saja dia protes! Untuk membuktikannya, saya tunjukkan padanya perhitungan sederhana, yaitu 100 : 3 kemudian hasilnya dikalikan dengan 3.  Saya bilang bahwa jika hasilnya tidak 100 berarti kalkulatornya rusak. Memang benar, ketika teman saya melakukan hitungan 100 : 3 dan hasilnya dikalikan 3, hasil akhirnya tidak 100 melainkan 99,9999999999. Hasil 100:3 (33,3333333333) hanya akan kembali menjadi 100 jika dikalikan 3,00000000003. Padahal dengan hitungan sama “scientific calculator” saya langsung memberikan hasil akhir 100. Seingat saya, pada waktu itu banyak teman yang terkejut lalu buru-buru mengecek kalkulator masing-masing. Nahlo! Saya tersenyum karena merasa berhasil mengerjai mereka. 

Hingga sekarang saya masih suka mengerjai teman-teman dengan cara yang sama. Tentu saja sekadar menunjukkan keanehan yang saya sendiri tidak tahu sebabnya. (Mungkin pembaca ada yang bisa memberi pencerahan?) Dan semenjak itu—gara-gara temuan aneh itu—saya sendiri menjadi apriori dengan kalkulator biasa untuk melakukan perhitungan ilmiah. Saya memilih menabung lebih keras untuk bisa membeli “scientific calculator” daripada menggunakan kalkulator biasa. Dan hingga saat ini saya juga tidak menemukan jawaban, mengapa hitungan pada kalkulator biasa itu bisa tidak akurat. Entahlah, mungkin saja saya yang tidak benar-benar memahami penggunaan tombol fungsi yang ada.

Saya hanya bisa berpikir positif bahwa tidak ada ciptaan manusia yang sempurna. Bagaimanapun kesempurnaan hanyalah milik Tuhan. Namun jika dengan ilmunya manusia bisa membuat sesuatu menjadi mendekati sempurna untuk kebaikan dan memuliakan derajat insani. Mengapa tidak? Saya yakin bahwa pada “scientific calculator” pun pasti juga terdapat setitik ketidaksempurnaan. Tapi saya yakin pencipta “scientific calculator” telah berusaha menyempurnakan ketidaksempurnaan pada kalkulator biasa demi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lalu, mengapa sekarang ini ada segelintir anak manusia, anak-anak bangsa ini yang justru membodohi diri sendiri dan masyarakat dengan mengaburkan penjumlahan yang bahkan bisa dihitung dengan mudah tanpa “scientific calculator” sekali pun? Sungguh menyedihkan!

Semarang, 15 Juli 2014

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun