Di tengah gemuruh kuliner modern yang tak henti berinovasi, ada satu sajian klasik dari Tanah Jawa yang tetap kokoh berdiri dengan segala kesederhanaannya. Sego Tiwul, lebih dari sekedar sepiring nasi biasa, tiwul adalah jembatan menuju masa lalu, membawa kita pada kisah-kisah ketahanan pangan, kearifan lokal, dan tentu saja, cita rasa otentik yang begitu khas. Ini bukan hanya tentang makanan, tetapi juga tentang sebuah identitas.
Secara harfiah, sego tiwul adalah nasi yang terbuat dari singkong. Proses pembuatannya pun cukup menarik dan melibatkan kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun. Singkong yang segar akan dikupas, lalu dicuci bersih, setelah itu dijemur hingga benar-benar kering dan mengeras, sering di sebut sebagai "gablek". Gaplek inilah yang kemudian ditumbuk atau digiling hingga menjadi butiran-butiran kasar, menyerupai beras namun dengan tekstur yang lebih renyah. Butiran gaplek inilah bahan dasar yang akan dikukus menjadi tiwul.
Hasil dari proses panjang ini adalah buliran-buliran renyah berwarna kecoklatan yang jika dikukus akan mengembang, menghasilkan tekstur unik yang sedikit kenyal namun tetap pulen. Ada aroma yang khas dari singkong, kadang sedikit manis, memberikan sensasi berbeda dari nasi putih yang kita kenal sehari-hari. Sensasi inilah yang sering membuat banyak orang terpikat, bahkan bagi mereka yang baru pertama kali mencicipinya.
Pada zaman dulu, tiwul bukanlah pilihan yang utama, melainkan " nasi kedua" bagi masyarakat di daerah-daerah yang sulit mendapatkan beras, terutama saat paceklik atau musim tanam yang kurang baik. Tiwul menjadi penyelamat, pahlawan tanpa tanda jasa yang memastikan perut tetap terisi di masa-masa sulit. Dari sinilah, tiwul menjadi simbol ketahanan dan kesederhanaan, mencerminkan kemampuan masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam secara optimal.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman, sego tiwul naik kelas, ia tak lagi dipandang sebelah mata sebagai makanan "orang susah". Justru, keunikan rasa dan sejarahnya menjadikannya primadona di banyak tempat makan, terutama di sentra kuliner tradisional Jawa. Banyak yang kini sengaja mencari tiwul untuk bernostalgia, mengenang masa kecil atau cerita dari orang tua dulu, atau hanya sekedar ingin merasakan pengalaman kuliner yang berbeda dari biasanya.
Penyajiannya pun cukup sederhana, namun walaupun penyajiannya yang sederhana rasanya yang tetap kaya. Segi tiwul paling nikmat disantap dengan lauk pauk sederhana khas pedesaan. Bayangkan saja sepiring tiwul hangat ditemani iwak gereh (ikan asin gabus) yang digoreng garing, sambal bawang yang pedas nya menggigit, dan sayur asem atau sayur lodeh yang segar. Kombinasi rasa yang gurih, pedas, asin dan manis dari sayuran itu menciptakan rasa yang membuat lidah bergoyang, membawa kita pada ketenangan akan masakan rumahan yang sangat otentik.
Tak jarang juga tiwul disajikan dalam versi yang manis, dicampur dengan parutan kelapa muda segar dan sedikit gula, menjadikannya camilan atau hidangan penutup yang lezat dan gurih. Varian yang manis ini membuktikan fleksibilitas tiwul yang bisa beradaptasi dengan berbagai selera, menunjukkan bahwa makanan tradisional pun bisa punya sisi modernnya. Ini juga menjadi pilihan menarik bagi mereka yang ingin menikmati tiwul tanpa lauk pauk.