Mohon tunggu...
Dumas Kurnia
Dumas Kurnia Mohon Tunggu... Salient Studies

Sic semper tyrannis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tulisan Sejarah itu Kering?

2 Juni 2025   16:45 Diperbarui: 2 Juni 2025   16:45 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Farmer_in_field,_Indonesia_Tanah_Airku,_p77.jpg

Entah di ranah media sosial maupun percakapan sehari-hari, kita sering menemukan pertanyaan tentang mengapa tulisan sejarah rata-rata kaku. Buku-buku sejarah sudah lama dikritik karena gaya penulisan yang kering; khas akademik. Apakah tidak mungkin sejarawan menghadirkan tulisan sejarah yang renyah, dengan bahasa ngepop?

Menjawab pertanyaan semacam ini memerlukan kehati-hatian. Pertanyaan tersebut mengandung unsur retoris, namun tidak ada salahnya disusun jawaban yang –semoga– dapat menjelaskan duduk perkaranya.

Pertama, tentu kita harus mufakat dulu mengenai apa itu sejarah. Tanpa merujuk pada definisi dari sarjana tertentu, biasanya setiap orang merumuskan sendiri jawabannya. Sejarah adalah masa lalu, sejarah adalah pengalaman hidup, sejarah adalah pelajaran dari masa lampau untuk kita di masa sekarang… semua orang membuat definisinya sendiri-sendiri. Hal ini tentu saja diperbolehkan, namun ada satu hal yang biasanya dilewatkan oleh orang Indonesia yaitu sejarah sebagai ilmu.

Dalam kajian ilmu sejarah, masa silam tidak sekedar tahun-tahun yang sudah berlalu namun menekankan pada aktivitas manusia dan perubahan yang dihasilkannya di masa silam, pada periode dan lokasi tertentu. Jadi tidak ada yang namanya “sejarah Gunung Merapi” karena yang dibahas dalam sejarah adalah aktivitas manusia yang dipengaruhi gunung tersebut. Misalnya sekeluarga yang mengaku sebagai raja gunung akhirnya justru harus mengungsi gara-gara gunungnya erupsi, yang dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai perpindahan pusat Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa bagian tengah ke arah timur. Sementara gunung yang lain dianggap penting, bahkan sakral sampai dirasa perlu diberi bangunan suci. Tentu saja kesakralan ini adalah nilai yang diberikan oleh manusia terhadap si gunung. Jadi dalam ilmu sejarah, manusia adalah aktor utama; biang keroknya. Sejarah adalah ilmu yang antroposentris.

Sejarah sebagai ilmu artinya ia memiliki metode –dan ya, sejarah memilikinya. Metode sejarah pada prinsipnya adalah perlakuan terhadap sumber sejarah serta proses analisis dan sintesis terhadap sumber-sumber tersebut. Secara garis besar, metode sejarah merupakan langkah kerja yang berurutan dimulai dari heuristik atau pengumpulan sumber, kritik sumber, interpretasi, dan penulisan kembali atau historiografi. Masing-masing tahapan memiliki standar prosedur yang ketat dan baku, sehingga sebuah karya historiografi selalu dapat dikritik berdasarkan metode yang digunakan. Dalam hal ini historiografi juga merupakan istilah untuk seperangkat ilmu yang digunakan oleh sejarawan dalam mengkaji masa silam sebagai pekerjaan ilmiah. Antara historiografi yang “karya” dan historiografi yang “metodologis” saling terkait satu dengan yang lain, sehingga tidak dapat dipisahkan (saya di sini menggunakan “karya historiografi” untuk menyebut tulisan sejarah semata-mata agar tidak rancu dengan historiografi yang bermakna metodologis).

Hemat saya, di sinilah pangkal dari “keringnya” tulisan sejarah. Oleh karena sejarah sebagai ilmu ia harus diperlakukan secara ilmiah dengan seperangkat metode yang ketat, maka dengan sendirinya terbentuk konsep-konsep yang baku mengenai seperti apa masa silam akan dijelaskan kepada khalayak pembaca. Historical explanation, atau penjelasan sejarah merupakan misi dari setiap karya historiografi. Penjelasan sejarah bertujuan membuat sejarah dapat dipahami secara intelligible atau secara cerdas.

Sampai di sini saja, sejarah sebagai ilmu terkesan begitu horornya khususnya bagi kaum yang tidak tahan lama-lama membaca. Memang demikianlah adanya, karena sebagai ilmu maka sejarah tidak bisa dibuat seenak jidat penulisnya. Sejarawan dibebaskan dalam memilih tema, menggunakan pendekatan ilmu bantu yang dianggapnya paling sesuai, menginterpretasikan suatu peristiwa dari perspektif tertentu, namun secara metodologis ia terikat pada prosedur ilmiah.     

Sejarawan tidak dilatih menjadi “the one who tell the tale”, melainkan hermeneutics and verstehen –menafsirkan dan mengerti. Tafsir, atau dalam istilah historiografi lazim disebut sebagai interpretasi bukan semau-maunya si sejarawan namun analisis dan sintesis dari bukti sejarah yang ia himpun dan seleksi. Ragam bahasa yang digunakan dalam karya historiografi disesuaikan dengan perkembangan ragam baku tulis pada masa karya itu diterbitkan, dengan demikian kecenderungan penyampaian sejarah secara kaku menjadi sukar dihindari. Tanpa bermaksud defensif, penggunaan ragam baku tulis merupakan cara terakhir untuk memastikan eksplanasi historis dapat tersampaikan kepada pembaca secara minim bias. Artinya antara maksud si sejarawan dan apa yang diterima pembaca menjadi nyambung, tidak terdistorsi oleh kosakata.

Kesimpulannya, keringnya tulisan sejarah bukan tentang kemampuan storytelling, melainkan konsekuensi dari sifat ilmiah sejarah itu sendiri. Tentu saja memungkinkan untuk menulis misalnya peristiwa G30S atau pendudukan Jepang dengan gaya "asyik", namun hal ini rentan mengacaukan fungsi eksplanasi sejarah yang harus hermeneutics dan verstehen tadi. Tulisan yang demikian dengan sendirinya akan pudar historisitasnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun