Mohon tunggu...
Duhita Dundewi
Duhita Dundewi Mohon Tunggu... -

nothing special

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Stunting, Bukan Aspal dan Beton, tapi Susu dan Gizi

14 Oktober 2018   02:50 Diperbarui: 15 Oktober 2018   02:50 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Tanpa ragu Enong menuntun anaknya, Amran, maju ke depan ketika mereka dipanggil oleh petugas Posyandu. Amran disandarkan pada meteran yang menempel pada dinding Posyandu. Ia bertelanjang kaki, matanya terbuka lebar, meski tampak tidak ada yang diperhatikannya. Tinggi badan Amran menunjukkan anak berumur 9 bulan.  

"Berapa umur Amran?" tanya petugas kepada si ibu.

"Sembilan belas bulan," jawab Enong.

Amran adalah anak yang diukur dan ditimbang badan di Posyandu Puskesmas Kecamatan Bantargebang, Kabupaten Sukabumi, beberapa waktu lalu. Tinggi badan Amran berada di bawah ukuran usianya.

Standard tinggi anak berumur 19 bulan adalah 83 cm, sementara Amran 74 cm. Ini tidak berarti apa-apa untuk orang yang tidak tahu istilah 'standard deviasi', apalagi yang tidak pernah mendengar istilah 'stunting.' Tapi bagi mereka yang tahu Standard Pertumbuhan Anak menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), dan mengerti arti stunting, fakta itu akan membuatnya terhenyak.

Stunting adalah problem massif di Indonesia. Di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, penderita stunting (bertubuh pendek) mencapai sekitar 9-10 persen dari jumlah penduduk, tersebar di 47 kecamatan.

Bayangkan itu, 10 persen itu dari total penduduk Sukabumi yang berjumlah sekitar 2,5 juta jiwa. Berarti ada 250 ribu bayi stunting di Kabupaten Sukabumi. Persentasenya menjadi lebih dari 35  persen jika diambil dari total populasi bayi di sana. Hampir sama dengan persentase anak stunting secara nasional, yaitu 37 persen.

Setiap hari, 14.000 anak lahir di Indonesia. Dari jumlah itu, lebih dari 5.300 terancam stunting. Faktanya 1 dari 3 anak berpotensi stunting. Anak-anak stunting 10 kali lebih rentan terkena segala macam penyakit, gampang putus sekolah dan berkurang 20 persen kemampuannya dalam mengisi usia dewasa dibandingkan dengan anak-anak normal lainnya.

Kegagalan dalam menangani seribu hari pertama kehidupan anak---mulai dalam kandungan sampai berusia 2 tahun---akibatnya tidak bisa ditanggulangi, baik secara individual maupun ekonomi. Data-data menunjukkan semacam 'kutukan' stunting---biaya keseluruhan anak-anak stunting dari tenaga kerja Indonesia adalah 10,5 persen dari GDP.

Apa yang bisa dilakukan untuk menanggulangi masalah stunting? Hampir tidak ada. Sekitar 80 persen pertumbuhan otak terjadi pada 1.000 hari pertama kehidupan anak. Ketika kesempatan itu terlewat, tertutuplah untuk selamanya.

Masalah stunting sebenarnya jadi isu utama dalam Pertemuan IMF-World Bank di Bali, 12 -- 14 Oktober 2018. Tapi sangat sedikit, bahkan nyaris tidak ada media massa nasional yang mengungkap tentang ini. Para pengambil kebijakan tingkat dunia, aktivis, dan akademisi berkumpul di Bali untuk mendiskusikan masalah air, sanitasi, nutrisi, dan pemberdayaan perempuan. Empat hal yang berpusar di sekitar masalah stunting, tulis Zack Petersen, kontributor di Coconuts App, Fresh and juicy News from Asia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun