Mohon tunggu...
Dudun Parwanto
Dudun Parwanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Traveler

Owner bianglala publishing, penulis, komika sosial media dan motivator/ trainer penulisan,

Selanjutnya

Tutup

Politik

Simulasi Konyol "Copras Capres"

14 Juli 2018   06:38 Diperbarui: 14 Juli 2018   07:13 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berebut Copras Capres

Tgl 4 Agustus 2018 adalah pendaftaran Capres-Cawabres untuk Pilpres 2018. Dunia politik heboh mencari koalisi yang menguntungkan partainya bukan bangsanya. Semua politisi sibuk membuat taste of the water atau test market membuat simulasi pasangan sambil menunggu respon khalayak. Para elite membuat manuver manuver sebagai posisi tawar atas kursi yang mereka miliki. Sementara MK masih menyidangkan gugatan PT sebesar 20%.

Di belahan lain, orang-orang yang anti mainstream mampu menjadi pemimpin di negerinya, menjadi inpirasi beberapa tokoh. Presiden Perancis Macron yang masih dibawah 40 tahun menginspirasi AHY untuk menyandingkan dirinya. Come backnya Mahatir Muhammad di usia 94 tahun membuat Amin Rais ingin maju sebagai pemimpin bangsa. barisan pendukung Jokowi pun menyamakan sosok Erdogan yang menang 2 periode.

Energi para elite habis untuk membuat simulasi-simulasi, rakyat di warteg sibuk menjadi pengamat politik dan lembaga survei sibuk untuk melakukan jajak pendapat. Semua terbawa arus oleh dua pilhan dua periode atau perubahan. Satu poros, dua poros atau akan muncul poros ketiga yakni poros perubahan.

Politik telah mempopularisasi permasalahan yang mendera bangsa. tantangan menjadi bangsa berdaya dengan kekuatan ekonomi yang membanggakan belum menunjukkan tanda-tanda kemandirian pangan.Banyak kebutuhan pokok mulai beras, hingga kedelai impor di negeri yang katanya tongkat kayu bisa jadi tanaman. Negeri agraris yang pernah jaya dan menjadi eksportis beras. 

Indonesia harus menempuh jalan memutar karena jalan ke depan adalah jurang. Kita keasyikan berjalan mengikuti gemuruh kerumunan, melupakan tujuan dan kompas panduan. Dalam ketidakjelasan arah, kerumunan terus bertikai, berebut memimpin jalan ke depan. Tanpa disadari, jalan yang dilalui nyaris di tepi jurang. Harus menunggu hingga Donald Trump menang, sayap kanan meraih dukungan luas di Eropa, Angela Merkel terus berkuasa, dan Xi Jinping bisa jadi Presiden China seumur hidup. Barulah sebagian dari kerumunan siuman. 

Bahwa pasar global kapitalisme melemahkan sendi-sendi demokrasi. Ketika pasar dan modal mengendalikan kebijakan politik, sebagian besar rakyat (demos) tak lagi berdaulat atas politik. Gelombang ketidakpuasan ini menjadikan pemerintahan kuat sebagai jalan keselamatan di hadapan tirani pasar.

Kita harus mencari pemimpin yang mampu mengembalikan kejayaan Indonesia, Menjadikan bangsa ini mandiri dari sisi pangan dan mampu memenuhi keburtuhan sendiri tidak tergantung dari ekspor. Mendorong ekonomi rakyat yang kuat dan memajukan usaha kecil dan menengah. Bangsa ini harus kuat agar bisa tegak berdiri dengan bangsa lain di dunia. Kejayaan budaya lokal, dan menasionaliasai semua aset menjadi milik bangsa sendiri.
(Dudun, Belajarmengerti)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun