Pendapat Plt. PB PGRI Dr Unifah Rosyidi sangat mewakili suara guru dilapangan berkaitan kebijakan Kemdikbud yang menaikan batas kelulusan PLPG dari 42 menjadi 80. Padahal menurut Unifah batas kelulusan profesi dokter saja hanya 65. Guru memang harus kompeten dan cerdas namun menaikan batas kelulusan menjadi 80 adalah satu kebijakan yang harus dikaji secara holitik. Strategi berjenjang dan bertahap dalam meningkatkan kompetensi guru jauh dirasa bijak dibanding menaikan drastis karena dunia pendidikan bukan dunia sulap melainkan dunia proses.
Kegaduhan gara-gara kebijakan yang dianggap tak paham psikologi kolektif guru sering terjadi. Sebelumnya kegaduhan berkaitan PLPG yang harus dibiayai oleh guru secara mandiri dari versi Dirjen GTK sementera dari versi Mendikbud (Anies Baswedan saat itu) tidak ada biaya dari peserta PLPG. Ambiguitas pelayanan birokrasi pendidikan menjadi dagelan yang menunjukan belum “matangnya” decision maker ditingkat atas. Stop birokrasi gaduh dan kriminalisasi guru yang menggejala akhir-akhir ini.
Guru Oh Guru. Nasib guru gonjang-ganjing bagaikan “mainan” birokrasi yang tak pernah berhenti. Guru menjadi komunitas paling “seksi” untuk dijadikan komoditas proyek pendidikan yang bisa menghabiskan anggaran sangat besar. Bila pelayanan birokrasi pendidikan masih dirasakan memberatkan guru dan masih tetap menimbulkan kegaduhan dilapangan berarti ada ketidaknyambungan antara realitas tuntutan guru dengan harapan pemerintah. Harus dicari jalan keluar dimana kebijakan tidak menimbulkan kegaduhan dan terkesan proyek tetapi melahirkan responsitas positif dari kalangan guru agar program pendidikan berjalan lamcar.
Negara-negara maju terlahir karena responsitas dan partisipasi masyarakat sangat baik dalam mendukung pemerintah. Masyarakat yang kooperatif, proaktif dan kontributif pada pemerintah itu terlahir bukan karena dagelan politik dan kebijakan ambigu melainkan karena proses pendidikan yang baik. Tidaklah mungkin proses pendidikan berjalan baik bila layanan birokrasi pendidikan terhadap guru-gurunya dirasa tidak adil, memberatkan dan bernuansa proyek. Mengapa dianggap bernuansa proyek? Karena program UKG, GPO, PLPG, TPG dll. begitu ribet dan terlihat tidak memenuhi syarat efektifitas dan efisensi.
Guru Oh Guru. Sampai kapan birokrasi gaduh, politisasi dan eksploitasi komunitas guru ini akan berakhir. Bahkan ratusan ribu guru honorer sampai saat ini masih jauh dari UMP padahal dalam undang-undang dan peraturan pemerintah jelas bahwa profesi guru harus mendapatkan kesejahteraan yang layak mengingat tugasnya yang strategis. Sebaiknya masalah “internal” antara guru dan pemerintah sudah harus berakhir. Negara-negara lain sudah jauh bergerak, mereka sudah membahas masa depan bangsanya bukan berkutat pada kebijakan yang menyengsarakan bangsanya.
Guru Oh Guru. Teruslah jalani kehidupan untuk mencerdaskan anak bangsa sekalipun banyak dinamika yang tak mendukung. Bukankah guru honorer di sekolah negeri “dilarang” ikut PLPG. Bukankah guru honorer secerdas apapun bila tidak memiliki NUPT tidak dapat merintis karir di program SILN, OGN dan bahkan program guru prestasi? Bukankah terkadang sehebat apapun guru dngan idealisme tinggi bila tidak “menyemir” atasan di daerah sangat sulit mengembangkan karirnya? Bahkan bukankah terutama di pendidikan dasar (SD) begitu mudah merotasi guru karena hal-hal sepele tidak seirama dengan pimpinannya? Stop diskriminasi dan kriminalisasi biroikrasi pendidikan terhadap guru.
Saran penulis sebaiknya kebijakan birokrasi pendidikan baik ditingkat pusat atau daerah mesti melibatkan masukan dan kritikan para ahli pendidikan atau praktisi pendidikan yang merasakan langsung bagaimana kebutuhan dan tuntutan profesi guru dilapangan. Pelibatan guru dan organisasi profesi guru dalam membangun pendidikan adalah sebuah keniscayaan dan perintah undang-undang dan peraturan pemerintah. Anehnya undang-undang dan peraturan pemerintah ini seperti pemanis saja. Kebanyakan kebijakan pendidikan kurang melibatakan guru dan organisasi profesinya.
Pemerintah sebaiknya merangkul organisasi profesi guru, bersinergi dan mencari solusi atas berbagai masalah pendidikan. Tidaklah baik bila kebijakan birokrasi pendidikan selalu melahirkan kegaduhan dan dianggap tak berpihak pada keinginan para guru. Alangkah indahnya bila keinginan pemerintah seirama dengan keinginan para guru menuju pelayanan pendidikan yang lebih baik. Pemerintah yang tak memahami realitas kompetensi dan kesejahteraan guru akan berujung disharmoni yang tidak menguntungkan pada investasi pendidikan. Jangan biarkanlah pendidikan gaduh karena ketidakcerdasan birokrasi pendidikan kalaupun harus ada yang gaduh biarkanlah kegaduhan itu terlahir karena proyek idealisme kolektif.
Selama investasi pendidikan yang dimotori para guru dianggap tersier dan setengah hati oleh pemerintah maka selamat tinggal masa depan bangsa. Ucapkan congratulation pada bangsa lain untuk memimpin peradaban dan menikmati kesejahteraan yang merupakan buah dari proses pendidikan yang unggul. Haruskah demikian?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI