Mohon tunggu...
Valentinus Galih Vidia Putra
Valentinus Galih Vidia Putra Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer, Politeknik STTT Bandung, Kemenperin R.I.

assoc. Prof.Dr. Valentinus Galih Vidia Putra, S.Si., M.Sc. is a Senior lecturer of physics at Politeknik STTT Bandung, the Ministry of Industry of the Republic of Indonesia. He received his Bachelor's degree from Universitas Gadjah Mada in 2010. In 2012 he received a Master of Science (supervisor: Prof. Dr. Eng. Yusril Yusuf, M.Sc., M.Eng), and in 2017, a Doctor of Physics (supervisor: Dr.rer.nat. Muhammad Farchani Rosyid, M.Si, and Dr. Guntur Maruto, M.Si) from Universitas Gadjah Mada with cum-laude predicate. Between 2017 and 2022, he spent his research time mostly at the Department of Textile Engineering, Politeknik STTT Bandung; Department of Pharmacy, Universitas Islam Bandung; Department of Physics, Universitas Gadjah Mada; Department of Physics, Universitas Nusa Cendana; and Universitas Trisakti. His current research interests are Artificial Intelligence, Plasma physics, Electronic textiles, Nanofiber, General theory of relativity, and applied physics. Office: Physics Lab., Gd. Manunggal, Politeknik STTT Bandung, Jalan Jakarta No.31, Kebonwaru, Kec. Batununggal, Kota Bandung, Jawa Barat 40272. Scopus Author ID: 57184259400 ResearcherID: N-9523-2015

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pro dan Kontra Istilah Plagiat Diri Sendiri atau Self Plagiarism yang Membingungkan Dosen

24 September 2022   11:30 Diperbarui: 16 Januari 2023   10:36 1340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 https://www.gla.ac.uk/research/ourresearchenvironment/prs/self-plagiarism/definingselfplagiarism/ Self-Plagiarism didefinisikan sebagai jenis plagiarisme di mana penulis menerbitkan kembali suatu karya secara keseluruhan atau menggunakan kembali bagian dari teks yang ditulis sebelumnya saat menulis karya baru. Penulis sering menyatakan bahwa karena mereka adalah penulisnya, mereka dapat menggunakan kembali karya tersebut sesuai keinginan mereka; mereka tidak dapat benar-benar menjiplak diri mereka sendiri karena mereka tidak mengambil kata atau ide apa pun dari orang lain. Tetapi sementara diskusi berlanjut tentang apakah self-plagiarism itu mungkin, masalah etis dari self-plagiarism menjadi signifikan, terutama karena self-plagiarism dapat melanggar hak cipta penerbit jika hak cipta tersebut telah diserahkan kepada penerbit. Definisi tradisional plagiarisme tidak memperhitungkan self-plagiarism, sehingga penulis mungkin tidak menyadari dan mengetahui etika dan hukum yang terlibat dalam penggunaan ulang atau penggunaan kembali teks.

Mengkutip pendapat Prof. Pamela Samuelson, profesor ilmu hukum dan informasi Universitas California, Berkeley dalam Kompas.com. menyebut beberapa alasan kapan pengulangan publikasi suatu karya ilmiah dibolehkan. Dalam tulisannya Self-Plagiarism or fair use? ia mengemukakan, pengulangan publikasi ilmiah terdahulu boleh dilakukan apabila: karya ilmiah itu perlu dikemukakan lagi sebagai landasan karya ilmiah berikutnya; bagian dari karya ilmiah terdahulu itu terkait bukti dan alasan baru pada karya berikutnya; sasaran yang dituju publikasi karya ilmiah itu beragam karena sifatnya yang multidisiplin, sehingga publikasi di media yang berbeda diperlukan untuk menjangkau komunitas multidisiplin.Mengkutip pendapat Dr. Stephanie J Bird, Vice President, Special Assistant to Provost, Massachusetts Institute of Technology, dan penulis Self-plagiarsm and dual and redundant publications: What is the Problems? Istilah self-plagiarism masih pro-kontra. misalnya, menganggap pemakaian istilah itu tak tepat karena definisi plagiat mensyaratkan ada pihak lain yang dicurangi.  Sementara, dalam hal pemakaian kembali karya sendiri itu tidak ada pihak lain yang dicurangi.

Mengkutip pendapat Prof. Dr. Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia saat menjadi Dosen Universitas Negeri Malang dan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang; dalam Kompas.com..
Bagi dosen, bila menggunakan karya ilmiahnya (lagi) untuk usulan kenaikan pangkat, padahal karya itu telah digunakan untuk maksud sama. Namun, memang, kalau semua pengulangan karya dianggap pelanggaran, betapapun ringan pelanggaran itu, mungkin bisa menghambat tugas dosen atau ilmuwan. Padahal, menurut UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 12 Ayat (2), tugas dosen sebagai ilmuwan tak hanya mengembangkan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi, tapi harus menyebarluaskannya. Mengingat pemakaian istilah auto-plagiat bermakna negatif sudah umum, sementara penggunaan dan batasan istilahnya masih kontroversial, perlu kiranya pedoman soal itu. Mungkin bisa lewat revisi Permendiknas No 17/2010 sehingga para penilai sejawat punya acuan pasti ketika menilai karya ilmiah sejawatnya. Jadi, tak bias penilaian.

Mengkutip pendapat dari Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Prof. Ir. Nizam, M.Sc., DIC., Ph.D pada kasus rektor USU dalam cnnindonesia.com.
...Nizam mengklaim tim independen sudah menganalisa karya Muryanto yang dituding plagiat. Tim tersebut, katanya, terdiri berbagai pihak dari perguruan tinggi, termasuk Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro dan Universitas Negeri Semarang. Menurut analisa tim, kata Nizam, Muryanto tidak melakukan self-plagiarism karena akses dari karya yang ia terbitkan ulang terbuka atau open access. Artinya, hak cipta dari karya ada di penulis atau pencipta bukan pada penerbit. Hal  ini sesuai dengan pedoman mengenai Creative Commons License .

Mengkutip pada tulisan the ethics of self-plagiarism pada  halaman web LLDIKTI Kopertis 12 
Autoplagiat (penipuan daur ulang) adalah perbuatan dengan menggunakan kembali sebagian atau seluruh karya ilmiah sendiri tanpa menyebutkan bahwa karya tersebut sudah pernah dipublikasikan. Secara etika keilmuan, self-plagiarism tidak menyalahi apabila hak cipta dari karya sebelumnya masih sama penulis, dianggap ilegal (melanggar) apabila hak cipta dari karya sebelumnya sudah dialihkan ke pihak lain. Biasanya sebuah artikel yang separuh isinya mengambil dari karya yang sudah pernah dipublikasikan bila ketahuan akan ditolak penerbit. Para mitra bestari (peer review) juga selalu berusaha mengecek unsur daur ulang sebelum suatu karya ilmiah atau hasil penelitian diloloskan dan mereka memiliki takaran penilaian sampai berupa % masih diijinkan (lazimnya tak lebih 10%).

mengkutip pendapat M Roid dalam ‘Plagiarism and self-plagiarism: What every author should know’ seperti dilihat di situs https://mh.uma.ac.id/apa-itu-self-plagiarism/ yang menyebut self-plagiarism juga bisa disebut sebagai duplikat atau multi publikasi. Dia mengatakan plagiat diri sendiri terjadi saat pengarang menggunakan lagi bagian dari karyanya yang telah diterbitkan dan dilindungi hak cipta di terbitan selanjutnya. Self-plagiarism dianggap ilegal (melanggar) apabila hak cipta dari karya sebelumnya sudah dialihkan ke pihak lain.

Mengkutip pendapat Kartika Paramita, S.H., LL.M Lecturer of Law Studies, Universitas Prasetiya Mulya  dalam Text recycling: acceptable or misconduct? Pada link 

Ketentuan mengenai daur ulang tulisan ke dalam Kode Etik Praktik Akademik, yang kemudian diikuti oleh Committee on Publication Ethics (COPE), organisasi nirlaba penyusun panduan etika untuk para pengurus jurnal di seluruh dunia. Keduanya sepakat bahwa batasan penggunaan ulang (daur ulang atau self-plagiarism) sebuah tulisan oleh penulis yang sama hanya diizinkan selama dituliskan ulang secara singkat - seperti hanya terdiri dari beberapa kalimat atau satu paragraf di bagian pendahuluan, landasan teori, dan metodologi.

Mengkutip pendapat Stephanie Harriman (editor BioMed Central) dan Jigisha Patel (Head of Programme Management, Research Integrity, Springer Nature dan Associate Editorial Director, Research Integrity, BioMed Central) pada BMCMediine.Biamedcentral.com
Kami tidak menganggap daur ulang teks atau self-plagiarism sebagai hal yang salah atau tidak etis dan mengakui bahwa ada keadaan di mana penggunaan kembali teks milik sendiri benar-benar valid dan pantas. Sementara masalah tentang bagaimana menangani daur ulang teks terutama telah menyusahkan editor, penulis juga mungkin bertanya-tanya seberapa jauh dapat diterima untuk menggunakan kembali teks mereka yang diterbitkan sebelumnya.....

The American Phytopathological Society (APS) Plagiarism Statement Plagiarisme didefinisikan oleh Merriam-Webster sebagai berikut "mencuri dan menyebarkan (ide atau kata-kata orang lain) sebagai milik sendiri: menggunakan (produksi orang lain) tanpa mencantumkan sumbernya," atau "melakukan pencurian sastra: hadir sebagai baru dan asli ide atau produk yang berasal dari sumber yang ada.” Dalam penulisan dan penerbitan ilmiah, plagiarisme paling sering terjadi ketika ide atau frasa kunci diambil dari sumber literatur dan sumbernya tidak dikutip. Menyalin kalimat dari karya orang lain dan hanya mengganti beberapa kata dalam kalimat itu juga dianggap plagiarisme. (Pada Standar Perilaku Profesional  yang dibentuk oleh APS, pendefinisian plagiarisme  tak menyinggung masalah auto-plagiat atau plagiat diri sendiri, namun APS lebih meyoroti pada pencurian “kekayaan intelektual penulis lain”).

The American Psycological Association (APA) dalam penerbitdeepublish.com
Plagiat Diri Sendiri atau Self-plagiarism berbeda dengan Plagiarisme. Plagiarisme mengacu pada praktek mengklaim kata-kata, ide, dan konsep orang lain, sedangkan self-plagiarisme mengacu pada praktek menyajikan kembali karyanya sendiri yang diterbitkan sebelumnya seolah-olah baru. Self-plagiarism adalah tindakan menampilkan karya yang telah diselesaikan sebelumnya sebagai karya asli dan baru (APA, 2020, hlm. 21, 256). Menyerahkan tugas yang digunakan di kelas sebelumnya atau untuk tugas sebelumnya adalah contoh plagiarisme diri, dan dianggap sebagai perilaku yang tidak etis. APA meyoroti bahwa plagiat diri sendiri berkaitan dengan pelanggaran Hak Cipta suatu karya yang telah diserahkan ke penerbit. Sumber
Dalam Panduan APA tentang plagiarism 
Menurut APA,  beberapa institusi mungkin menganggapnya sebagai plagiarisme diri jika seorang siswa menyerahkan makalah yang ditulis untuk satu kelas untuk menyelesaikan tugas untuk kelas lain tanpa izin dari instruktur saat ini. Menggunakan makalah yang sama di beberapa kelas dapat melanggar kebijakan integritas akademik, kode kehormatan, atau kode etik universitas.
Namun, memasukkan pekerjaan kelas sebelumnya ke dalam tesis atau disertasi seseorang dan membangun tulisan sendiri yang sudah ada mungkin diperbolehkan; siswa yang ingin melakukan ini harus mendiskusikan ide-ide mereka dengan instruktur atau penasihat mereka dan mengikuti kode kehormatan universitas, kode etik, atau kebijakan akademik ketika menggunakan kembali pekerjaan mereka sebelumnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun