Mohon tunggu...
dharma putra
dharma putra Mohon Tunggu... -

Ketua LPM Kanaka 2013 - 2014 Ketua Komunitas Daun Jatuh 2015 Wk. Ketua BPM-FIB UNUD 2016 Anggota FKUB Kab.Karawang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Semboyannya, Bukan Hanya Tut Wuri Handayani

6 Oktober 2016   15:16 Diperbarui: 6 Oktober 2016   15:22 8290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Soewarno Soeryaningrat mungkin nama itu sangat asing di telinga kita, tapi apabila kita menyebutkan nama Ki Hajar Dewantara, maka saya yakin kalian tidak akan menyebut lagi siapa itu Soewarno Soeryaningrat. Yaa, Soewarno Soeryaningrat adalah nama asli dari Ki Hajar Dewantara yang di kenal sebagai tokoh pendidikan republik ini yang wajahnya pernah diabadikan pada uang kertas Rp. 20.000,-. Pengangkatan Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh pendidikan bangsa ini bukannya tanpa sebab, tapi beliau memang di kenal aktif dalam gerakan pendidikan semasa hidupnya. 

Cita – cita besarnya adalah membebaskan bumi putra (masyarakat Indonesia) dari kebodohan dan membentuk karakter intelektual kepada kaum muda yang dianggapnya sebagai penerus pribadi daulat bangsa. Satu contoh besarnya dalam dunia pendidikan adalah sekolah yang didirikannya pada 3 Juli 1922 bernama Nationaal Orderwijs Instituut Taman Siswa yang kemudian lebih dikenal dengan nama Taman Siswa. 

Sebelum beliau mendirikan sekolah tersebut Ki Hajar Dewantara pun pernah mengajar terlebih dahulu di salah satu sekolah yang didirikan oleh saudaranya. Maka dari itu Ki Hajar Dewantara pun di kenal sebagai aktivis pendidikan yang disegani pada masa itu dan dianggap sebagai pemberontak oleh pemerintahan kolonial Belanda.

Karya besar lainnya dari Ki Hajar Dewantara adalah sebuah semboyan sakti untuk para pendidik yang sampai saat ini masih terekam dan tertulis dengan jelas pada logo kementrian pendidikan republik ini. Semboyan sakti itu adalah “Tut Wuri Handayani”.Kata yang sangat familiar untuk lembaga pendidikan di Republik ini. Tapisemboyan pada logo tersebut bukanlah semboyan utuh yang di cetuskan oleh Ki Hajar Dewantara, melainkan hanya 1 bait terakhir diantara 3 bait dari semboyan tersebut. Tiga bait utuh yang tak sefamiliar, salah satu baitnya.

Bait lengkapnya adalah “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”.Bait utuh itulah yang tidak termasyarakat dengan baik, berbeda tentunya dengan satu bait yang sangat familiar. Bait – bait pada semboyan tersebut memiliki makna yang sangat mendalam yang ditujukan oleh Ki Hajar Dewantara terhadap sistem pendidikan dan pengajaran di republik ini. Ing Ngarso Sung Tulodomemiliki arti memberikan tauladan di depan, Ing Madya Mangun Karso memiliki arti ditengah membangun semangat dan Tut Wuri Handayani itu sendiri berarti memberikan dorongan dari belakang. Dari 3 bait tersebut terlihat dengan jelas bahwa Ki Hajar Dewantara mencoba memberikan sebuah metode pengajaran yang komunikatif dan humanis terhadap subjek pendidikan itu sendiri.

Metode yang komunikatif dan humanis itu bisa kita lihat dari kata – kata yang memberikan motivasi secara total kepada subjek didik. Perspektif itu bisa kita lihat dari kata “didepan memberikan tauladan dan ditengah membangun semangat”. Melalui kata itu Ki Hajar Dewantara berharap sosok pengajar sepatutnya terlebih dahulu memberikan tauladan kepada siswa didiknya yang nantinya tauladan itu pun akan di nilai – siswa didik akan mencontoh moral dan etika dari sosok pengajar yang dianggap sebagai pemberi panutan – oleh siswa didiknya dan berpengaruh kepada tercapainya tujuan dari pendidikan itu sendiri. 

Setelah itu ada pemberian semangat yang harus terus diberikan kepada siswa didik agar komunikasi antara pengajar dan siswa didik dapat terus berjalan dengan baik, khususnya kepada mereka yang tidak mampu mengikuti pola pengajaran dengan baik. Sehingga siswa didik pun dapat dilihat perkembangannya. Pemberian semangat ini secara psikologis dapat membantu seseorang lebih percaya diri dalam melakukan berbagai macam hal karena semangat itu akan menggagalkan proses berpikir takut (John Fiske). Cara yang dilakukan melalui dua hal tersebut pun sudah menggambarkan pola mata rantai yang saling bergantung antara satu dan lainnya. 

Ketika pengajar tidak memberikan tauladan didepan siswa didiknya, maka tujuan dari pendidikan tidak akan tersampaikan dengan baik. Pemberian semangat pun akan menjadi sia – sia ketika pengajar tidak memberikan tauladan kepada siswa didiknya. Setelah memberikan tauladan dan membangun semangat dalam semboyan itu pun menjelaskan pengajar harus memberikan dorongan dari belakang kepada siswa didiknya sehingga tidak akan pernah ada istilah siswa yang mundur dan menyerah. Sehingga tujuan dari pendidikan tidak akan menjadi gagal untuk mencetak pribadi berintelektual tinggi.

Pada hari ini semboyan Ki Hajar Dewantara itu seakan tenggelam perlahan diatas pita logo kementrian pendidikan. Simbol pada logo itu memang dengan jelas mencantumkan bait kata dari semboyan sakti Ki Hajar Dewantara, akan tetapi logo itu hanya mencantumkan bait terakhirnya saja yang artinya pun hanya untuk memberikan “dorongan dari belakang”. Membuat pemaknaannya menjadi ambigu, dorongan seperti apa yang dimaksud ? akan sampai mana dorongan itu diberikan ?, dengan makna yang menjadi ambigu, pertanyaan pun menjadi nyeleneh bukan ?. 

Berarti dengan jelas logo itu sudah menghilangkan perpektif pikir dari semboyan utuh Ki Hajar Dewantara yang asli, yaitu  “memberikan tauladan” dan “membangun semangat” kepada para siswa didik sehingga tafsir dan tujuannya menjadi jelas. Tidak salah jika seperti itu, apabila masyarakat di era modern ini memaknai pendidikan dan pengajar hanya sebatas pemberi dorongan kepada para siswanya – memberikan prakata laksana komando – tanpa diberikannya tauladan juga semangat, agar siswa sebagai subjek pendidikan dapat dibimbing dengan kebenaran yang pasti. 

Tidak hanya sebuah perintah, ketika salah dijauhkan dan dianggap sebagai manusia bodoh dan tidak punya masa depan. Para pengajar atau pemangku kepastian pendidikan di republik ini kini sudah menjauhi cita – cita Bapak Pendidikannya, dimana sistem pengajaran bisa lebih komunikatif dan humanis, kedekatan siswa dan pengajar yang harusnya bisa saling bertukar informasi, membuat dinamika dan transformasi budaya didik yang seimbang antar generasi (Tua dan Muda).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun