Pada tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an, konsep tinggal di rumah berasrama masih cukup popular di wilayah kota kecil Ruteng, Manggarai, Flores. Banyak rumah yang dijadikan tempat asrama.
Pada tahun-tahun tersebut, jumlah SMP dan SMA seperti terkonsentrasi di kota Ruteng. Belum terlalu banyak SMP dan SMA yang didirikan di wilayah-wilayah kecematan.
Siswa yang berada pada level SMP dan SMA tinggal berbaur dalam satu kamar besar dengan komposisi tempat tidur tingkat. Ada sejumlah uang yang dijadikan bayaran kepada pemilik rumah berasrama.
Pada satu dekada terakhir, konsep hidup berasrama itu perlahan pudar. Itu hanya berlaku untuk konteks sekolah tertentu, yang mana diatur dan diwajibkan oleh pihak sekolah. Asramanya pun mempunyai sistem dan program kerja yang bertalian dengan program sekolah.
Selebihnya, sejauh ini anak-anak yang berada di bangku SMP dan SMA lebih memilih untuk tinggal di kos daripada rumah berasrama. Tinggal sendirian. Atau pun, tinggal berdua dengan saudara dan teman sekampung.
Rumah-rumah yang dulunya dijadikan asrama berubah fungsi menjadi rumah kos. Bahkan, di antaranya sudah lenyap dan tak ada eksis lagi.
Tinggal di kos selalu penuh dengan dinamika tersendiri. Salah satu dinamika dari hidup di kos adalah soal pengaturan anggaran belanja hidup harian, termasuk makanan dan minuman.
Pastinya, tiap orangtua mempunyai anggaran tersendiri untuk anaknya yang tinggal di kos. Tak sekadar mengiakan permintaan anak.
Dengan ini, anak kos yang masih berada pada usia SMP dan SMA harus pandai dan jeli mengatur anggaran hidup harian seturut anggaran uang saku yang diberikan oleh orangtua dari rumah.
Tak sedikit yang membawa beras dari rumah. Jumlahnya pun seturut kebutuhan seorang anak kos dalam jangka waktu tertentu. Misalnya, jangka waktu sebulan.
Ketika beras habis, si anak meminta orangtuanya membawa atau pun mengirimnya beras. Kalau tidak, orangtua hanya mengirim uang dan meminta si anak untuk membeli sendiri beras.
Di sini, salah mengatur anggaran baik itu uang maupun makanan bisa berujung pada kesulitan di akhir bulan. Misalnya, tak mempunyai uang dan makanan pada akhir bulan.
Tak sedikit yang mengambil jalan hemat. Contohnya, makan sekali sehari.
Tentu saja, hal itu tak baik untuk kondisi seorang anak SMP dan SMA yang nota bene berada pada level pertumbuhan. Kesehatan bisa saja terpengaruh. Proses pertumbuhan bisa ikut terganggu.
Oleh sebab itu, gerakan pemberian makanan bergizi gratis yang dicanangkan oleh Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menjadi berkah tersendiri untuk anak-anak SMP dan SMA yang tinggal di kos.
Paling tidak, itu bisa menjadi alternatif kebutuhan gizi di tengah keterbatasan anggaran tinggal dan berada di tempat kos. Itu juga bisa menjadi kelegaan bagi anak-anak kos di tengah ketidaktahuan dan kesulitan dalam mengatur anggaran makanan dan minuman selama tinggal di kos.
Kadang kala, guna memenuhi hasrat makanan bergizi, seorang anak kos rela menghabiskan sejumlah uang untuk makan di warung. Tentu saja, seorang anak kos tak bisa melakukan hal itu setiap hari lantaran keterbatasan anggaran yang dimiliki.
Barangkali hal itu bisa dilakukan pada awal penerimaan uang saku dari orangtua. Selebihnya, anak kos akan kembali mode andalan seperti menjadikan mie instan dan telur sebagai menu andalan setiap hari.
Tentu saja, hal itu tak baik untuk kesehatan. Apalagi kalau seorang anak kos hanya makan sehari atau dua kali setiap hari dengan komposisi menu yang rendah gizi.
Oleh sebab itu, program MBG di satu sisi menjadi berkah tak hanya bagi orangtua yang kesulitan memberikan uang jajan untuk anak, tetapi juga untuk anak kos yang mempunyai keterbatasan anggaran dalam memenuhi makanan bergizi.
Akan tetapi, berkah itu bisa menjadi senjata yang bisa memberikan efek negatif. Anak kos melihat program MBG sebagai berkah terselubung.
Dalam arti, uang yang seyogianya dianggarkan untuk makanan di kos dialihkan untuk hal-hal yang tak bermanfaat. Misalnya, dialihkan untuk pembelian pulsa phone atau juga membeli rokok dan minuman keras.
Untuk itu, orangtua juga perlu melek dengan program MBG. Perlu kalkulasi tersendiri, di mana orangtua bisa menghitung anggaran yang diberikan dengan penyediaan MBG di sekolah.
Jangan sampai, program itu malah dimanfaatkan oleh anak untuk mengelabui orangtua, terlebih khusus dalam pemberian uang saku atau pun uang jajan.
Seyogianyan, jika konteksnya tinggal di kos, evaluasi pada cara hidup anak perlu dilihat dengan baik. Apakah pemberian anggaran untuk makanan tetap sama di tengah adanya program MBG. Ataukah, anggaran perlu dikurangi lantaran ada alternatif bagi anak mendapatkan makanan di sekolah.
Begitu pula dalam pemberian uang saku pada anak. Hemat saya, di tengah adanya program MBG, pemberian uang saku dibatasi, dan kalau boleh tak dilakukan. Jangan sampai anak mengalihfungsikan uang jajan yang diberikan untuk hal-hal yang tak bermanfaat.
Bagaimana pun, aspek kontrol orangtua dalam pengaturan anggaran hidup anak, baik itu anak yang tinggal di kos maupun pemberian uang jajan dari rumah sangat diperlukan. Tujuannya agar anak tak menyalahgunakan uang untuk kepentingan lain, terlebih khusus kepentingan negatif.
MBG bisa menjadi berkah untuk anak SMP dan SMA yang tinggal di kos dan yang kesulitan mengatur anggaran. Juga, itu pun menjadi perhatian serius dari orangtua dalam mengatur anggaran anak, terlebih khusus dalam pemberian uang jajan perbulan dan setiap hari sewaktu ke sekolah.
Â
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI