Kekalahan Tim Nasional Indonesia dari Tim Nasional Irak (0-1) di Stadion King Abdullah Sports City, Arab Saudi (12 Oktober 2026) pada laga kedua babak ke-4 mengakhiri mimpi Indonesia bermain di Piala Dunia 2026. Sebelumnya, pada laga pertama Indonesia menderita kekalahan (2-3) dari Arab Saudi.
Kekalahan dari Arab Saudi sebenarnya sudah memberikan sinyal jika jalan Indonesia untuk tembus ke Piala Dunia 2026 makin terjal. Irak bukanlah lawan sembarangan. Pasalnya, Indonesia mempunyai catatan buruk saat bermain kontra Irak, di mana dalam tiga laga terakhir sejak tahun 2023 hingga 2024 Indonesia tak pernah merasakan kemenangan.
Terang saja, laga kontra Irak terbilang berat. Beban berat itu ditambah oleh ekspetasi tinggi dari luar lapangan dan juga cercaan kritik pada performa Indonesia atas keputusan pelatih dan performa di laga perdana.
Di sini, mau tak mau, Timnas Indonesia juga harus berhadapan dengan suporter Indonesia yang tak kalah "cerewet" dengan media Inggris.
Bermain kontra Irak, Indonesia gagal memberikan efek kejutan. Kekalahan 0-1 dari Irak memperpanjang tren negatif setiap kali bertemu tim yang berjuluk "Singa Mesopotamia" tersebut.
Parahnya, kekalahan itu membuat asa para pemain Timnas Indonesia untuk mengikuti jejak Lionel Messi dan kawan-kawan bermain di Piala Dunia 2026 menjadi sirna.
Pengalaman Timnas Indonesia ini tentu saja menyakitkan. Pada tempat pertama, kiprah Indonesia mulai dari babak ketiga, terlebih khusus sewaktu masih dipegang oleh Pelatih Shin Tae-yong sepertinya memberikan asa besar dan optimisme bahwa jalan ke Piala Dunia 2026 bukanlah langkah yang mustahil.
Namun, pergantian pelatih dari STY ke Patrick Kluivert menjadi salah satu kejutan di balik ekspetasi kuat pada kiprah Indonesia untuk mendapatkan satu tiket. Sebagaimana situasi dari pergantian pelatih yang terjadi di dunia sepak bola umumnya, pergantian pelatih itu bisa menjadi titik balik. Lebih tepatnya, biang dari keterpurukan dari performa tim.
Buktinya, Kluivert gagal memberikan kesan pertama saat menjalankan debut sewaktu Indonesia bermain kontra Australia. Alih-alih mau mencoba mengadopsi pola permainan "total football", Indonesia malah digasak Australia dengan 1-5.
Pada titik itu, Timnas Indonesia ynag umumnya bermaterikan para pemain naturalisasi dari Belanda bukanlah "timnas mini" Belanda.
Dalam arti, pengalihan filosofi sepak bola dari Belanda ke Timnas Indonesia tak segampang membalikkan telapak tangan. Bagaimana pun, Indonesia tetap mempunyai sistemnya sendiri, kultur yang berbeda dari Belanda, dan sekaligus mentalitas yang belum kuat sebagaimana Timnas Belanda.
Kendati demikian, Kluivert tetap menjaga asa bagi Indonesia mendapatkan satu tiket ke Piala Dunia 2026 karena bisa tembus pada putaran ke-4 kualifikasi Piala Dunia 2026.Â
Bermain pada putaran ke-4 menjadi kesempatan terakhir Kluivert untuk menjaga asa Timnas Indonesia dan sekaligus "menghibur" suporter Indonesia. Namun, tantangannya tak kecil lantaran Indonesia berada satu grup dengan Arab Saudi dan Irak.
Indonesia gagal melewati tantangan tersebut. Kekalahan dari dua negara tersebut mengakhiri mimpi Indonesia untuk bisa bermain pada Piala Dunia 2026.
Pada tempat kedua, kegagalan Indonesia tembus ke Piala Dunia membahasakan banyak aspek dari dunia sepak bola Indonesia. Itu bisa berhubungan dengan keputusan dan kebijakan Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI) yang secara mengejutkan menggantikan STY di tengah jalan.
Bagaimana pun, STY mempunyai peran penting dalam kiprah Indonesia selama perhelatan babak kualifikasi. Ditambah lagi, pelatih asal Korea Selatan itu sudah mengenal baik Timnas Indonesia, termasuk para pemain yang kerap dipanggilnya masuk timnas.
Memang, harus diakui kiprah STY masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi, jalannya dalam membangun Timnas Indonesia agar bisa menjadi tim yang disegani di Asia sementara berada pada jalur yang tepat.
Untuk itu, pergantian pelatih menjadi "blunder" dari keputusan dan kebijakan PSSI. Apalagi, Kluivert yang dinobatkan sebagai sosok pengganti mempunyai rekam jejak yang begitu minim sebagai pelatih dalam membawa sebuah tim untuk sukses.
Dengan membawa Kluivert beserta staf dari daratan Belanda, kita sepertinya mau dibius dengan filosofi "total football". Padahal, filosofi itu bisa berkembang dengan baik apabila ditopangi dengan para pemain yang berkualitas mumpuni dan sekaligus sudah dididik dalam sistem yang satu dan sama.
Ya, kegagalan Indonesia untuk tembus Piala Dunia 2026 terjadi lantaran salah keputusan dan kebijakan. Keputusan dalam memecat STY di tengah jalan dan dibarengi dengan pemilihan pelatih yang rada tak tepat menjadi biang dari ambruknya mimpi Indonesia bermain pada Piala Dunia 2026.
Lagi-lagi kita yang telah "memasyarakat" olahraga sepak bola harus menjadi penonton setia pada Piala Dunia 2026. Di balik rasa kecewa dan marah kita, kita sekiranya tak boleh tutup mata untuk mengkritisi setiap keputusan dan kebijakan yang telah terjadi tentang sepak bola Indonesia.
Betapa tidak, tim yang sementara terbangun saat ini tak saja diperuntuhan untuk Piala Dunia 2026. Akan tetapi, Tim Garuda saat ini juga terbangun untuk banyak kans terlibat dalam turnamen level Asia Tenggara dan Asia.
Yang paling penting bahwa perlu mengevaluasi sistem kerja, mulai dari kiprah pelatih hingga staf yang terlibat di dalamnya. Hemat saya, pemecatan pelatih bisa menjadi salah satu opsi apabila kiprahnya telah menjadi salah satu sebab dari robohnya mimpi Indonesia masuk Piala Dunia 2026.
Salam Bola
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI