Saat kita sedang berbicara tentang rencana pemulangan Warga Negara Indonesia (eks) anggota ISIS ke Indonesia, seperti yang ditulis dalam berita the guardian.com (6/2/2020), tiga orang ditusuk oleh orang yang dinilai sebagai salah satu pendukung ISIS di Maldives.
Ketiga orang itu adalah seorang warga negara Australia dan dua orang warga negara CIna.
Beberapa warga Maldives juga dinilai pernah bergabung dengan ISIS. Ada sekitar 200-300 warga negara yang bergabung dengan ISIS. Karena situasi ini, Maldiva kadang menghadapi persolan yang serius dengan ulah gerakan ekstremis seperti ISIS (theguardian.com 6/2/2020).
Polemik kepulangan 600-an WNI (eks) anggota ISIS menyita perhatian banyak pihak di tanah air. Dua kutub pendapat yang mencuat ke permukaan tentang rencana pemulangan WNI yang terlibat organisasi ekstremis, ISIS.
Presiden Jokowi belum memberikan pernyataan yang pasti dan resmi tentang kepulangan 600 orang Indonesia yang terlibat ISIS. Keputusannya bergantung pada rapat dengan beberapa menteri anggota kabinet.
Secara pribadi, Presiden Jokowi sebenarnya menolak kepulangan WNI eks ISIS. Tentunya, presiden mempunyai pertimbangan tertentu atas penolakannya itu. (tribunnews.com 6/2/2020).
Sementara itu, wakil sekretaris Dewan Syura PKB Maman Imanulhaq mengatakan kalau "tidak ada urgensi untuk memulangkan 600 WNI eks ISIS." (tribunnews.com 6/2/2020).
Pernyataan dari Maman Imanulhaq ini terlahir karena menurutnya mereka yang terlibat ISIS ini tidak mengakui NKRI, Pancasila dan pemerintahan yang sah. Secara tidak langsung mereka bisa dinilai sebagai pengkhianat bangsa dan negara.
Apalagi dikabarkan kalau sebagian besar dari mereka yang (eks) ISIS ini membakar paspor mereka. Pembakaran paspor ini tentunya sudah menunjukkan pengingkaran mereka kepada status mereka sebagai WNI.
Sementara itu, politisi partai Gerindra, Fadli Zon cenderung menyatakan kalau pemerintah mempunyai kewajiban untuk memulangkan WNI (eks) anggota ISIS.
Alasan di balik pandangan Fadli Zon ini adalah mereka yang terlibat ISIS adalah korban.