Mohon tunggu...
Dony Saputra
Dony Saputra Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa dengan ketertarikan pada olahraga, traveling, dan dunia kicau mania. Bagi saya, ketiga hal tersebut bukan sekadar hobi, melainkan juga sarana untuk menjaga kesehatan, memperluas wawasan, serta menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tambang dan Masa Depan Lingkungan: Sains di Balik Bencana Ekologi

5 Oktober 2025   01:00 Diperbarui: 5 Oktober 2025   00:21 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tambang batu bara telah lama menjadi tulang punggung energi Indonesia. Di Sumatra, khususnya Sumatera Selatan, cadangan batu bara melimpah dan menjadi andalan ekspor serta pemasok utama Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Namun, di balik perannya sebagai penyokong energi, tambang batu bara juga membawa dampak serius terhadap lingkungan. Sains, khususnya analisis kimia, membantu mengungkap bagaimana aktivitas tambang bisa menjadi bencana ekologi yang mengancam masa depan.

Air yang Tak Lagi Jernih

Di Muara Enim, Sumatera Selatan, masyarakat sudah lama mengeluhkan kondisi air sungai yang berubah warna menjadi kecoklatan. Hal ini bukan sekadar perubahan visual, melainkan akibat air asam tambang. Saat batuan yang mengandung mineral pirit (FeS) terbuka karena penambangan, ia bereaksi dengan oksigen dan air membentuk asam sulfat. Air asam ini melarutkan logam berat seperti besi (Fe), mangan (Mn), hingga merkuri (Hg) ke aliran sungai.

Analisis kimia yang dilakukan di daerah tambang Sumatera menunjukkan pH air turun drastis hingga di bawah angka 4. Kandungan logam berat sering kali melampaui baku mutu air bersih. Dampaknya nyata: warga yang masih bergantung pada air sungai mengalami iritasi kulit, diare, bahkan masalah kesehatan jangka panjang seperti kerusakan organ dalam akibat akumulasi logam berat.

Tanah yang Kehilangan Kesuburan

Tambang batu bara di Sumatra tidak hanya meninggalkan lubang besar, tetapi juga merusak tanah di sekitarnya. Lahan pertanian yang dulunya subur perlahan berubah menjadi tandus. Analisis kimia tanah di kawasan tambang memperlihatkan peningkatan kadar timbal (Pb) dan kadmium (Cd), sementara kandungan bahan organik turun drastis.

Akibatnya, tanaman sulit tumbuh normal. Di sejumlah desa sekitar Muara Enim, petani melaporkan hasil padi dan palawija menurun. Lebih buruk lagi, tanaman yang berhasil tumbuh berisiko mengandung logam berat yang kemudian masuk ke rantai makanan. Artinya, kerusakan tambang bukan hanya berhenti di tanah, tetapi bisa sampai ke piring masyarakat.

Udara yang Penuh Debu Batu Bara

Aktivitas tambang batu bara juga mencemari udara. Debu halus yang dikenal sebagai PM10 dan PM2.5 beterbangan dari lokasi penggalian dan jalan angkutan. Analisis kualitas udara di sekitar tambang Sumatera menunjukkan konsentrasi partikel debu melebihi standar WHO.

Bagi masyarakat, ini berarti ancaman kesehatan sehari-hari. Anak-anak sering batuk berkepanjangan, sementara pekerja tambang berisiko tinggi menderita pneumokoniosis---penyakit paru-paru hitam yang disebabkan oleh paparan debu batu bara dalam jangka panjang. Selain itu, gas buangan seperti SO dan NOx ikut memperparah pencemaran udara.

Sains Membuka Mata

Tanpa data, semua keluhan warga mungkin dianggap sebatas cerita. Namun, analisis kimia membuktikan sebaliknya. Dengan instrumen modern seperti AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry), ICP-MS (Inductively Coupled Plasma Mass Spectrometry), dan XRF (X-Ray Fluorescence), para peneliti bisa mengukur kandungan logam berat pada air, tanah, maupun udara di sekitar tambang.

Hasilnya konsisten: kualitas lingkungan di daerah tambang batu bara di Sumatra jauh menurun. Data inilah yang menjadi bukti ilmiah bahwa aktivitas tambang meninggalkan jejak pencemaran serius.

Masa Depan: Antara Energi dan Ekologi

Indonesia memang masih bergantung pada batu bara sebagai sumber energi utama. Namun, pertanyaannya: sampai kapan? Jika kerusakan lingkungan terus dibiarkan, keuntungan ekonomi jangka pendek hanya akan berubah menjadi beban ekologis jangka panjang.

Studi kasus di Sumatera memberi pelajaran penting. Rehabilitasi lahan bekas tambang, pengolahan air asam tambang, serta pemantauan kualitas udara mutlak dilakukan. Di sisi lain, pemerintah juga harus berani mempercepat transisi ke energi terbarukan agar ketergantungan pada batu bara bisa berkurang.

Penutup

Tambang batu bara di Sumatra memperlihatkan wajah ganda: satu sisi memberi pemasukan negara, sisi lain meninggalkan kerusakan yang sulit diperbaiki. Analisis kimia menegaskan bahwa pencemaran air, tanah, dan udara nyata adanya.

Masa depan lingkungan kita sangat bergantung pada keputusan hari ini. Apakah kita akan terus mengorbankan sungai, tanah, dan udara demi energi murah? Atau mulai mencari keseimbangan antara kebutuhan energi dan keberlanjutan ekologi? Jawabannya akan menentuka

n kualitas hidup generasi mendatang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun