Partai-partai bersentimen agama, untuk ke depan mungkin hanya akan diwakili oleh dari kalangan Islam. Namun begitu, kemeriahan panggung demokrasi Indonesia, tidak surut dengan ketidakhadiran partai bersentimen agama lain. Terakhir, sorotan masyarakat cukup besar pada partai bersentimen agama ini, tipis di bawah perhatian partai berkuasa utama. Jelas, jika untuk tayangan layar kaca, kehadiran partai agama dalam berita-berita politik bisa menaikan rating. Apalagi, beberapa waktu lalu muncul tokoh ‘besar’ Luthfi Hasan Ishaq (LHI) dengan kasus impor daging sapi-nya dan Anis Matta dengan retorika konspirasi-nya.
Anas Urbaningrum, di saat tangan terikat, yang mungkin juga melontarkan kata ‘konspirasi’, kurang ‘greget’ untuk menarik perhatian kaum masjid yang lebih luas. Anas Urbaningrum, dengan latar belakang organisasi HMI-nya, hanya berhasil menggerakan emosi ‘kaumnya’. Terlalu jauh jika dikaitkan dengan Islam, kecuali sebatas persaingan pribadi per pribadi dengan kawan-kawannya sendiri seperti Saut Poltak Tambunan. Memang mungkin berbeda agama, tetapi mereka satu dalam ‘ideologi’ partai; dengan asumsi memang ada partai ideologis.
Berbeda dengan Anas, LHI jelas membangun perasaan bersatu karena Islam. Pengkaderan yang lebih bertempat di masjid, renungan malam dan tausiyah-tausiyah keagamaan yang disampaikan kepada anak-anak muda kampus atau sekolah, dengan KAMMI sebagai ‘mesin’-nya, menimbulkan kesan bahwa PKS adalah partai Islam.
Nah, ketika kasus impor daging sapi mencuat dan ditambahi bumbu konspirasi berlatar pekik ‘Allahu Akbar’, yang kemudian disorot bukan hanya PKS, bisa-bisa adalah Islam. Berbicara Islam sangat menarik, di samping mayoritas penduduk di negeri ini adalah muslim, setidaknya lebih menguras emosi.
Bandingkan dengan ‘nasionalisme’ iklan Maspion Markus, sepertinya kurang menarik perhatian. Sebab, militansi nasionalisme mesti dikuatkan oleh adanya faktor fisik ancaman dari luar. Tanpa itu, ia akan memudar. Apalagi, dakwah belilah ploduk-ploduk dalam negeri, sebagai materi iklan komersial, jelas mengarah ke motif ekonomi. Jauh, dari motif ideologis yang memang tidak adil jika dituntut kepada sebuah organisasi berupa peruasahaan.
Tetap saja, faktor yang menarik dan bikin heboh adalah sentimen-sentimen agama. Inilah yang dimainkan secara cantik oleh PKS. Gelontoran dana untuk iklan ‘di Jawa Barat semuanya ada’, serasa tidak sia-sia. Setidaknya, itu yang bisa kita bayangkan pandangan dari para kader PKS. Menguras emosi keagamaan, tetapi dipadukan dengan gangnam style. Citra sebagai ‘Islam gaul’ efektif dalam memenangkan trophy panggung demokrasi: kursi.
Bukan persoalan siapa yang menang, tetapi kesuksesan mengiklankan demokrasi. Semakin banyak orang terlibat dan merasa penting, akan semakin memeriahkan demokrasi yang dianggap berkolerasi dengan kemajuan fisik suatu bangsa atau umat.
X Factor mungkin tidak begitu menarik perhatian mereka yang berbau masjid atau yang sudah belajar mengenakan kerudung dan bapak-ibunya, tetapi kehadiran Fatin mestinya meningkatkan rating acara.
LHI dan Fatin hanya berada di panggung berbeda. Jika mereka idola, mereka idola di panggung berbeda. Jika mereka ‘korban’ , mereka dikorbankan untuk panggung berbeda. Secara substansi sama saja, mereka ingin memenangkan dan membangkitkan diri mereka sendiri. Jika berupa kaum, jelas kaum mereka sendiri. Islam? “Di Jawa Barat semuanya ada, termasuk perzinaan dan bank ribawi.” Kalau di Jakarta, “Ada kasus korupsi daging sapi”.