Mohon tunggu...
Doni Bastian
Doni Bastian Mohon Tunggu... Silentist..

Kontak WA 0821 1450 1965

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Indonesia, Dari Raja Gula Dunia Menjadi Importir Terbesar

26 September 2025   14:10 Diperbarui: 26 September 2025   14:10 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia pernah tercatat sebagai salah satu penghasil gula terbesar di dunia, terutama pada era kolonial Belanda. Pada awal abad ke-20, tepatnya sekitar tahun 1930-an, produksi gula Indonesia menempati peringkat kedua setelah Kuba. Saat itu, Pulau Jawa dikenal sebagai pusat produksi gula dengan ratusan pabrik yang beroperasi secara aktif. Namun, kondisi tersebut berbalik tajam. Kini, Indonesia justru menjadi salah satu negara pengimpor gula terbesar di dunia. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: mengapa negara dengan sejarah panjang sebagai "raja gula" dunia bisa berubah menjadi sangat bergantung pada impor?

Kejayaan Industri Gula di Masa Lalu

Pada masa kolonial, industri gula di Indonesia sangat maju. Belanda membangun lebih dari 179 pabrik gula di Pulau Jawa, memanfaatkan kesuburan tanah vulkanik dan tenaga kerja lokal. Gula menjadi salah satu komoditas utama ekspor Hindia Belanda, yang menyumbang devisa besar bagi kolonialisme. Bahkan, teknologi pengolahan tebu saat itu termasuk yang paling modern di Asia.

Namun, sistem tanam paksa dan eksploitasi tenaga kerja membuat kejayaan tersebut tidak dinikmati masyarakat pribumi. Keuntungan lebih banyak mengalir ke Belanda, sementara rakyat hanya menjadi pekerja di perkebunan. Meski demikian, secara produksi, Indonesia kala itu adalah salah satu pusat manis dunia.

Kemunduran Industri Gula Nasional

Setelah kemerdekaan, industri gula mengalami pasang surut. Beberapa faktor utama penyebab kemunduran adalah:

  1. Nasionalisasi Pabrik Gula
    Setelah Belanda hengkang, pabrik-pabrik gula dinasionalisasi. Namun, pengelolaan tidak selalu berjalan efisien. Banyak pabrik mengalami kesulitan modal, teknologi tidak diperbarui, dan manajemen kurang efektif.

  2. Pabrik yang Tua dan Tidak Efisien
    Hingga kini, sebagian besar pabrik gula di Indonesia masih menggunakan mesin peninggalan kolonial. Akibatnya, rendemen tebu rendah dan biaya produksi tinggi.

  3. Alih Fungsi Lahan
    Perkebunan tebu yang dulu luas kini banyak beralih fungsi menjadi perumahan, kawasan industri, atau dialihkan ke komoditas lain yang dianggap lebih menguntungkan, seperti sawit.

  4. Produktivitas Petani yang Rendah
    Banyak petani tebu adalah petani kecil dengan keterbatasan modal dan teknologi. Rendemen tebu di Indonesia rata-rata hanya sekitar 7--8%, jauh di bawah Thailand yang bisa mencapai lebih dari 12%.

  5. Kebijakan Impor yang Longgar
    Untuk menekan harga di dalam negeri, pemerintah sering membuka keran impor gula. Akibatnya, gula impor yang lebih murah membanjiri pasar, membuat gula lokal sulit bersaing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun