Mohon tunggu...
Doni Rahma
Doni Rahma Mohon Tunggu... Panggil saja oey

akun ini hanya menyalurkan apa yang ada di otak saya. kemudian merangkainya menjadi frasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sudah Tuntaskah Reformasi Kita?

20 Mei 2025   10:03 Diperbarui: 20 Mei 2025   10:03 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tepat tanggal 21 Mei 2025, reformasi 1998 kita akan genap berusia 27 tahun. Gerakan yang dipimpin oleh mahasiswa ini berhasil menghimpun kekuatan lewat advokasi, kelompok diskusi, dan kesadaran bersama untuk memperjuangkan hak-hak sipil yang selama ini selalu direpresi pemerintah orde baru. Tuntutan seperti Amandemen UUD, pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), Penegakkan supremasi hukum, Otonomi daerah seluas-luasnya, Adili Presiden Soeharto beserta kroninya, dan penghapusan dwi fungsi ABRI menjadi agenda utama reformasi kala itu. Klimaksnya terjadi pada rangkaian peristiwa Mei 1998, yang dimulai dari kerusuhan dan penjarahan massal sampai penembakan serta penculikan terhadap mahasiswa demonstran oleh aparat bersenjata. Hingga pada akhirnya, ribuan mahasiswa berhasil menduduki Gedung MPR/DPR di Senayan, Jakarta Pusat. Aksi tersebut kemudian direspons oleh Presiden Soeharto dengan membacakan surat pengunduran dirinya di istana negara dua hari setelahnya.

Keberhasilan gerakan reformasi tentunya menjadi penanda bagi runtuhnya rezim orde baru, yang telah berkuasa selama 32 tahun, sejak 1966 hingga 1998. Lahirnya reformasi juga telah memberikan jalan demokrasi untuk masuk menggantikan otoritarianisme dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Reformasi seakan memberi secercah harapan dan rasa optimisme dalam hal pembaruan sistem bernegara. Euforia muncul di berbagai tempat mendambakan negara gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo. Sejak saat itu pula di tahun-tahun setelahnya bulan Mei selalu menjadi momentum untuk kembali mengingat perjuangan politik di masa lalu melalui serangkaian acara simbolik di berbagai daerah.

Namun, dibalik semua peringatan tersebut, yang sebenarnya kerap kita tidak sadari adalah terjebak dalam kecenderungan meromantisasi peristiwa reformasi. Sebenarnya tidak ada yang salah dari semua itu. Akan tetapi, bakal lebih baik lagi jika momen reformasi di masa lalu dijadikan ajang reflektif untuk mengingat kembali semangat awal perjuangan serta mempertanyakan kembali janji-janji yang ternyata belum berhasil dipenuhi sampai sekarang. Hampir tiga dekade sejak kelahiran reformasi, tentu pertanyaan yang sebenarnya patut diajukan adalah: apakah reformasi yang diperjuangkan dengan begitu besar oleh mahasiswa dan segenap elemen sipil itu benar-benar telah tuntas diwujudkan?.

ILUSI REFORMASI

"Ada momok yang menghantui Indonesia---hantu rezim Orde Baru". Kalimat tersebut senada dengan yang pernah disinggung oleh Derrida dalam bukunya "Specter of Marx". Derrida menolak pandangan pasca kehancuran Uni Soviet dan blok timur bahwa Komunisme telah mati di Eropa. Namun, menurutnya komunisme tetap hadir menjadi hantu ideologi yang tidak bisa dibunuh. Dalam konteks indonesia sendiri walaupun saat ini orde baru sebagai rezim secara formal telah mati akan tetapi spiritnya tetap menghantui kehidupan sosial-politik di Indonesia. Reformasi tidak pernah sepenuhnya memutus kontinuitas dengan Orde Baru.

Reformasi 1998 memang telah membawa Indonesia keluar dari jerat otoritarianisme menuju demokrasi partisipatif dengan membenahi tatanan prosedural. Aspek ini kemudian berhasil melahirkan lembaga seperti KPU, DPD, MK, dan KPK. Namun, menurut Professeor Syarif Hidayat, dosen ekonomi politik dan desantralisasi UNAS, itu saja tidak cukup. Kegagalan reformasi justru terletak pada tidak dibenahinya dimensi substantif demokrasi. Akibatnya, terjadi stagnasi---bahkan kemunduran---demokrasi selama 5 tahun terakhir. Hal ini diperkuat dengan laporan riset The Economist Intelligence Unit (EIU) yang menunjukkan bahwa skor indeks demokrasi tahun 2024 turun menjadi 6,44 dan menempatkan Indonesia di peringkat 59 dari 167 negara yang teliti. Capaian itu membuat Indonesia masuk dalam kategori negara dengan demokrasi cacat (Flawed Democracy). Stagnasi ini tentunya bukan tanpa sebab, hadirnya Shadow state---oligarki yang bersekongkol bersama elit partai untuk mengendalikan negara---serta personalistic government telah menjadi hambatan nyata bagi jalannya demokrasi.

MENUJU DEFORMASI

Ironisnya, di tengah kemunduran reformasi ini, Orde Baru justru dikemas ulang lewat jargon "stabilitas" dan "keamanan" seperti polemik RUU TNI yang berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi ABRI apabila tidak ada akuntabilitas hingga "demokrasi santun" ala Prabowo yang mengandung bahaya laten pembatasan kebebasan berekspresi. Tanpa definisi yang jelas mengenai kesantunan tentu pemerintah dengan kewenangannya dapat mengatur apa yang boleh dan tidak dikatakan diruang publik. Dalam rules book of dicatorship kendali atas informasi merupakan salah satu ciri khas rezim otoriter. Terbaru perihal usalan revisi UU ASN, yang belum genap berusia 3 tahun disahkan, pemerintah dengan jelas ingin mengambalikan pengaturan mengenai petinggi aparatus sipil dipilih kembali oleh pusat. Jelas hal tersebut menyalahi amanat desantraliasi. Sebaliknya pemerintah kini malah menginginkan resentralisasi.

Di sisi lain, terdapat upaya restorasi simbolik orde baru lewat wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. Ditambah dengan pelemahan supremasi hukum, terbukti dari pelemahan KPK dan impunitas atas pelanggaran HAM berat masa lalu. Dengan demikian sekalipun demokrasi telah ditegakkan. Pada faktanya Reformasi belum tuntas sepenuhnya menghadirkan masa depan seperti yang dicita-citakan dahulu kala. Kini yang ada hanyalah demokrasi semu. Orde baru belum sepenuhnya mati tapi reformasi juga belum benar-banar lahir.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun