Mohon tunggu...
Donald Haromunthe
Donald Haromunthe Mohon Tunggu... Guru - Guru Seni Budaya di SMA Budi Mulia Pematangsiantar

Saya juga menulis di donald.haromunthe.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saatnya Mendefinisikan Kembali Arti Sinamot

10 Februari 2016   21:09 Diperbarui: 4 April 2017   17:51 3693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar ini saya unggah dari Twicsy.com. In case my dearest readers mungkin melihat ini sebagai regulasi perpajakan yang baru saja disahkan anggota DPR atau DPRD, hingga saat ini, belum ada aturan resmi seperti itu. Artinya, gambar ini adalah hasil kreatif yang mencoba mengungkapkan keprihatinan atau kepedulian akan isu sosial masyarakat tentang mahar dalam perkawinan dalam masyarakat Batak Toba. Tanpa berasumsi lebih jauh apakah saya dan si pembuat gambar ini sama-sama mengalami ngenes-nya hidup sebagai seorang jomblo atau seorang yang mencoba mencari perhatian untuk menggugat tatanan konvensional dalam adat-istiadat terutama ritus perkawinan masyarakat Batak Toba, ada baiknya kita telusuri sedikit asal-muasal dari Sinamot ini.

Sinamot atau Tuhor ni Boru adalah mahar (belis) yang harus dibayarkan paranak (pihak mempelai lelaki) kepada parboru (pihak mempelai perempuan) jika ingin menikah. Seorang penulis di Kompasiana, Uli Pardede, menjelaskan dengan cukup baik dan ringkas. Untuk tidak mengurangi esensi tulisannya, saya kutip saja di sini dengan perbaikan redaksional seperlunya dari saya.

***

Asal usul sinamot sebenarnya dimulai dari pekerjaan orang suku batak yang dahulu kebanyakan bertani (mangula). Sehingga pada saat wanita dan pria akan menikah, otomatis istri mengikut si suami. Sehingga keluarga si istri merasa pekerjaannya di sawah bertambah karena kurangnya pekerja (maksudnya pekerja keluarga). Disinilah si pria harus memberi ganti si wanita, entah itu wanita atau pria. (orang ganti orang). Namun cara ini sangat tidak kena pada sasaran, sehingga diganti menjadi istilahnya Gajah Toba (horbo).

Berjalannya waktu kemudian digantilah menjadi Sinamot. Sebelum sinamot berupa uang, nilainya sangat berat, yakni: berapa banyak, kerbau, lembu, uang dan emas. Sesuai keadaan si paranak, maka sinamot itu lambat laun berubah menjadi uang. Sinamot ini pun sebenarnya sudah menjadi suatu kebanggaan bagi kedua belah pihak. 

Bagi parboru, jika boru-nya (anak perempuannya) dihargai dengan harga tinggi, maka berbahagialah keluarga si perempuan karena (setidaknya untuk beberapa saat lamanya), masyarakat akan tahu bahwa boru mereka dihargai tinggi. Begitu juga dari pihak paranak. Bisa memberi sinamot banyak maka rasa banggalah yang ia dapatkan. Bahkan terkadang ada pihak lelaki yang membiayai semua pengeluaran pernikahan untuk keluarga si perempuan. Sebagian orang berpendapat bahwa tidak ada ruginya jika sinamot besar bagi pihak lelaki, toh mereka nanti akan mendapatkan tumpak (amplop berisi uang dari tamu-tamu yang datang). Jika tamu yang datang banyak, maka jumlah tumpak itu akan banyak jumlahnya. Secara kasat mata, berhasil tidaknya sebuah resepsi pernikahan dalam ritus perkawinan masyarakat Batak pada masa kini bisa dilihat dari jumlah undangan dan ucapan selamat dalam berbagai bentuk. Kerap segala macam cara dilakukan supaya hal ini terjadi, at any cost.

"Asa tarida sangap ni keluargatta" (supaya orang tahu bahwa kita keluarga terhormat), kata seorang raja parhata pada suatu ketika. ***

Tetapi lepas dari itu, seharusnya masyarakat sekarang melihat kondisi pihak lelaki dulu. Beberapa kasus menunjukkan beberapa pernikahan yang gagal karena harga sinamot yang ditawarkan pihak lelaki tidak sesuai dengan hati keluarga perempuan. Dalam hal ini, struktur sosial yang menanamkan ego kepada pihak parboru tidak sebanding dengan kemampuan dari si paranak. Romansa antara kedua manusia yang ingin memadu ikatan perkawinan itu pun bisa gagal jika para juru runding (raja parhata)  tidak berhasil menemukan titik konsolidasi yang berterima bagi semua pihak.

Beberapa figur dan teman yang saya temui juga senada ingin mengkritisi hal ini.

Menurut mereka: Mestinya dos ni roha (anonimousity) mestinya bisa menjembatani hal semacam ini. Mereka mencoba dengan berbagai macam argumentasi untuk mengembalikan fitrah perkawinan sebagai ikatan antara pasangan pria dan wanita (hingga saat ini belum ada kajian tentang LGBT dalam tatanan perkawinan masyarakat Batak Toba) yang mestinya bisa bertahan dan berkreasi serta bereproduksi secara kondusif.

Inilah esensi yang jauh lebih penting dibandingkan suksesnya acara sehari pernikahan yang menguras begitu banyak energi dan materi, kerap kali melebihi kemampuan riil dari kedua belah pihak. Mereka mencoba mendamaikan situasi ini dengan menggaungkan kembali pepatah lama "Aek godang, do aek laut dosniroha do sibaen na saut" .  (Jika sebulat sehati, tentulah rencana baik ini akan berhasil). Kembali ke gambar di atas. Pembaca barangkali merasa bahwa gambar itu exaggerate atau berlebihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun