Mohon tunggu...
Dolly Priatna
Dolly Priatna Mohon Tunggu... Dosen - Dosen dan praktisi konservasi alam

Meraih gelar doktor bidang konservasi biodiversitas tropika dari Institut Pertanian Bogor di tahun 2012. Memulai karir profesional di dunia konservasi sejak 1991, saat bergabung dengan Wildlife Conservation International (sekarang Wildlife Conservation Society) yang menjalankan Proyek Ekologi di Taman Nasiona Gunung Leuser (1991-1993). Pernah bekerja lebih dari 10 tahun pada program ICDP (Integrated Conservation and Development Programme) di Sumatra bagian utara, sebuah program yang menyelaraskan upaya konservasi lingkungan dengan pembangunan wilayah, yang didanai oleh Uni Eropa & Pemerintah Indonesia (1993-2004). Pada tahun 2004 – 2012 menjabatan Country Director pada lembaga konservasi asal Inggris The Zoological Society of London (ZSL) Indonesia Programme. Pernah menjadi Chair Person pada Forum Konservasi Harimau Sumatera “HarimauKita” (2012-2014) dan Chair Person pertama pada SCGIS (Society for Conservation GIS) Indonesia Chapter. Pada tahun 2015-2021 bertugas sebagai Direktur Program Perencanaan dan Finansial pada Komisi Nasional Program MAB UNESCO di Indonesia. Pada 2012 - 2021 bekerja sebagai Kepala Departemen Konservasi Lansekap pada Asia Pulp & Paper Group (APP Sinarmas), yang bertanggung jawab mengembangkan strategi dan merancang seluruh kegiatan konservasi keanekaragaman hayati, serta mengkoordinasikan kajian, pemantauan, perlindungan, dan pengelolaan kawasan Bernilai Konservasi Tinggi & Stok Karbon Tinggi (HCV/HCS) di seluruh konsesi pemasok kayunya. Sejak 2014-sekarang menjadi pengajar tetap pada Program Studi Manajemen Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Pakuan Bogor. Selain itu, sejak 2021-sekarang menjabat sebagai Direktur Eksekutif pada Yayasan Belantara. Mulai 1991 aktif meneliti dan menulis tentang konservasi satwa liar, restorasi/rehabilitasi ekosistem hutan, dan pembangunan berkelanjutan, yang diterbitkan di berbagai jurnal ilmiah nasional dan internasional, majalah pupuler, serta buku. Saat ini masih tercatat sebagai Dewan Penasihat pada Asian Journal of Conservation Biology (SCOPUS Q-4), menjadi Editors-in-Chief pada Indonesian Journal of Applied Environmental Studies (SINTA-4), serta sebagai Anggota Editorial Board pada Journal of Tropical Ethnobiology (SINTA-3). Saat ini masih menjadi Anggota Dewan penasihat pada Forum HarimauKita, Anggota Forum Konservasi Gajah Indonesia, Anggota Forum Orangutan Indonesia, serta pengurus pada Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) periode 2016-2021. Selain itu, sampai saat ini masih menjadi Anggota IUCN Commission on Ecosystem Management.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Taman Nasional Ujung Kulon dan Konservasi Macan Tutul Jawa

30 Januari 2024   13:45 Diperbarui: 30 Januari 2024   19:31 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Macan tutul jawa (Panthera pardus melas). Foto: Dokumentasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak via KOMPAS.id

Taman Nasional Ujung Kulon tidak hanya memiliki nilai ekologis dan konservasi yang tinggi tetapi juga menjadi simbol penting dalam upaya melestarikan satwa liar yang terancam punah, seperti Badak Jawa dan Macan Tutul Jawa”.

Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) adalah sebuah kawasan konservasi alam yang terletak di ujung barat pulau Jawa, Indonesia. Taman Nasional ini didirikan pada tahun 1992 dan kemudian diakui sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1991. Kawasan konservasi yang terletak di Provinsi Banten ini, sebagian besar wilayahnya meliputi ujung barat daya Pulau Jawa, dan dikenal karena keanekaragaman ekosistemnya. Di dalamnya terdapat hutan hujan tropis, hutan mangrove, savana, dan ekosistem laut yang kaya.

Selain sebagai taman nasional, Ujung Kulon juga memiliki status Cagar Alam yang meliputi Pulau Peucang dan Pulau Panaitan. Kedua pulau ini memiliki pantai indah, terumbu karang, dan merupakan habitat bagi berbagai jenis flora dan fauna. Selain daratan utama yang menjadi bagian Pulau Jawa, TNUK juga mencakup beberapa pulau kecil di sekitarnya, seperti Pulau Handeleum dan Pulau Oar.

Kebanyakan orang mengenal Taman Nasional Ujung Kulon sebagai tempat perlindungan bagi berbagai spesies yang langka, termasuk Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus). Badak Jawa adalah salah satu hewan langka yang terancam punah, dan Ujung Kulon menjadi satu-satunya tempat di dunia di mana populasinya masih bertahan. Oleh kareannya, saat ini TNUK menjadi destinasi ekowisata yang populer. Pengunjung dapat menikmati keindahan alam, melakukan trekking di hutan, menyelam di perairan laut yang kaya, dan mengamati satwa liar. Jika beruntung, wisatawan dapat menemukan jejak atau bahkan satwa Badak Jawa.

Saking melekatnya popularitas nama Badak Jawa dengan Ujung Kulon, mengakibatkan satwa-satwa liar lainnya yang menghuni taman nasional yang merupakan Situs Warisan Dunia UNESCO ini nyaris terlupakan. 

Padahal, selain Badak Jawa, taman nasional ini juga menjadi habitat bagi berbagai spesies satwa liar lainnya, seperti rusa, banteng, kijang, monyet, burung, dan reptil. Selain itu, di TNUK juga hidup Macan Tutul Jawa, yang saat ini merupakan satwa karnivora terbesar yang hidup di belantara Pulau Jawa, yang nasibnya hampir sama dengan Badak Jawa, terancam akan kepunahan.

Macan Tutul Jawa, atau dikenal dengan nama ilmiah Panthera pardus melas, adalah subspesies macan tutul yang secara khusus dapat ditemukan di Pulau Jawa. Memiliki ciri-ciri fisik khas, termasuk bulu dengan pola tutul yang berbeda-beda. Pola ini dapat bervariasi dari tutul besar hingga kecil dan kadang-kadang membentuk garis-garis. 

Selain dengan ciri tersebut, terkadang ada Macan Tutul Jawa yang melanistik, yaitu individu macan tutul dengan ciri warna gelap atau hitam yang dominan pada bulu-bulunya. Warna bulu ini disebabkan oleh kondisi genetik yang menghasilkan melanin lebih banyak dari biasanya. Individu macan tutul seperti inilah yang kita kenal dengan julukan “Macan Kumbang”.

Habitat alami Macan Tutul Jawa mencakup berbagai tipe lingkungan, mulai dari hutan hujan tropis, hutan dataran rendah, hingga daerah pegunungan. Mereka dapat ditemukan di berbagai wilayah di pulau Jawa. Populasinya terus menurun akibat hilangnya habitat, konflik dengan manusia, perburuan ilegal, dan keberadaan jalur perlintasan yang mengancam keselamatan mereka.  Ancaman lain terhadap kelestarian Macan Tutul Jawa adalah perubahan iklim yang dapat memengaruhi kondisi lingkungan mereka.

Berbagai upaya konservasi telah dilakukan untuk melindungi Macan Tutul Jawa, termasuk diantaranya pembentukan kawasan konservasi, peningkatan pemahaman masyarakat, penegakan hukum untuk mengurangi perburuan ilegal, dan pengawasan terhadap aktivitas manusia yang dapat mengancam keberlanjutan populasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun