Di sisi lain, ayam kampung adalah ayam lokal Indonesia yang dipelihara secara tradisional, sering kali dibiarkan berkeliaran di pekarangan, dan diberi pakan alami atau campuran sisa makanan.Â
Ayam kampung tumbuh lebih lambat dan biasanya baru siap dikonsumsi setelah usia empat hingga enam bulan. Dagingnya dikenal kenyal, rendah lemak, dan memiliki rasa gurih yang khas.
Perbedaan ini bukan sekadar soal cara pemeliharaan.Â
Penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada menunjukkan bahwa ayam kampung memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dan lemak yang lebih rendah dibandingkan ayam ras maupun ayam petelur afkir.Â
Kandungan kolagennya pun tidak sebanyak ayam afkir, sehingga daging ayam kampung cenderung lebih empuk dan tidak memerlukan waktu masak yang lama.
Secara visual dan tekstur, memang ada kemiripan antara ayam kampung dan ayam afkir. Keduanya sama-sama memiliki daging yang lebih keras jika dibandingkan dengan ayam broiler (ayam potong putih yang umum dikonsumsi masyarakat).Â
Hal ini yang kemudian dimanfaatkan oleh sebagian pedagang untuk menjual ayam afkir dengan label "ayam kampung". Konsumen yang tidak terlalu jeli sering kali tertipu oleh persepsi rasa dan tekstur.
Namun praktik semacam ini jelas bermasalah.
Pertama, secara etika, menyamakan dua jenis ayam yang berbeda tanpa informasi yang jujur kepada konsumen adalah bentuk pengelabuan.Â
Kedua, secara hukum, hal ini melanggar hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.Â
Pasal 8 dalam undang-undang tersebut secara tegas melarang pelaku usaha memberikan informasi atau pernyataan yang menyesatkan terkait barang dan/atau jasa yang ditawarkan.