Pembentukan Badan Pangan Nasional (Bapanas) melalui Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2021 adalah langkah besar dalam membenahi tata kelola pangan Indonesia.Â
Lembaga ini diberi mandat untuk mengoordinasikan, merumuskan, dan memastikan ketersediaan serta keamanan pangan. Bahkan, di tingkat pemerintah daerah, urusan pangan yang menjadi kewenangan Bapanas ditetapkan sebagai urusan wajib. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Salah satu fungsi penting Bapanas adalah pengawasan pangan, termasuk pangan asal hewan. Tetapi di sinilah muncul persoalan: Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) yang berada di bawah Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, masih memegang peran pengawasan keamanan pangan asal hewan. Dengan kata lain, ada dua institusi dengan fungsi serupa.
Akibatnya, Bapanas seperti "jalan di tempat". Punya kewenangan besar, tetapi ragu melangkah jauh karena Kesmavet masih berada di Kementan.Â
Sementara itu, Kesmavet di level pemerintah daerah hanya dianggap urusan pilihan. Maka jadilah pemda bingung: harus patuh pada Bapanas yang punya dasar hukum kuat, atau tetap menunggu arahan Kementan yang masih memegang fungsi teknis?
Mengapa Kesmavet Krusial?
Pangan asal hewan bukan sekadar soal daging ayam, daging sapi, atau telur. Di dalamnya ada risiko serius yang menyangkut kesehatan dan keselamatan manusia.Â
Data Kementerian Kesehatan 2023 menunjukkan, lebih dari 40% kasus keracunan makanan di Indonesia bersumber dari pangan asal hewan.
Kita bisa lihat dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sedang digalakkan pemerintah. Niatnya mulia, memastikan anak sekolah dan masyarakat kurang mampu mendapat akses protein hewani. Namun di lapangan, kasus keracunan justru banyak terjadi karena pangan asal hewan, misalnya telur rebus yang tidak segar, atau daging ayam yang tidak diolah dengan standar kebersihan baik.
Contohnya, beberapa saat yang lalu, ratusan siswa sekolah dilaporkan muntah-muntah setelah mengonsumsi makanan dalam program MBG di Bogor, Jawa Barat. Hasil uji laboratorium, ditemukan kontaminasi bakteri Salmonella dan E. coli pada sampel yang diperiksa, diantaranya pada bahan pangan telur ayam dan air. Peristiwa ini menegaskan, tanpa pengawasan ketat, niat baik bisa berbalik menjadi malapetaka.
Sementara pangan segar asal tumbuhan (PSAT) memang berisiko akibat residu pestisida, tetapi dampaknya jarang bersifat akut. Orang Sunda, misalnya, terbiasa makan lalapan segar setiap hari. Bahayanya ada, tetapi tidak menimbulkan keracunan massal secara cepat.Â